CTEV Bukan Berarti Kiamat

June 21, 2009
sepatu orthopadi orthoshoping.com sepatu untuk koreksi kaki pengkor/ bengkok pada balita arrow
Ads orthoshop info
sepatu orthopadi orthoshoping.com sepatu untuk koreksi kaki pengkor/ bengkok pada balita arrow
Ads orthoshop info

sepatu orthopadi orthoshoping.com sepatu untuk koreksi kaki pengkor/ bengkok pada balita arrow
Ads orthoshop info


Ketika bidan yang membantu persalinan Syahid (kini 6 bln) memberitahukan keadaan telapak kakinya yang melengkung ke dalam, kami tidak terlalu khawatir. Rasa-rasanya biasa saja kalau bayi baru lahir kondisi tungkainya agak melengkung.

Namun ketika kemudian saya perhatikan baik-baik, melengkungnya memang tidak biasa. Dokter spesialis anak yang kami temui kemudian merekomendasikan Syahid untuk diperiksa oleh dokter spesialis ortopedi.

-- Kemudian hari banyak yang bertanya, "Kakinya bentuk O?" Tidak, lebih tepatnya bahkan menyerupai bentuk huruf W. Jadi melengkung tetapi ekstrim sekali --

Pun tiga hari setelah pulang dari klinik bidan, saya masih beranggapan ini bukan masalah serius. Begitu seterusnya hingga tiba hari cek ke spesialis ortopedi dan bedah tulang. Akhirnya perasaan "biasa saja" itu pecah ketika Syahid dinyatakan menderita kelainan bawaan CTEV (congenital tallipes equino varus) alias club foot alias kaki pengkor atau kaki bengkok. Pada Syahid, yang terjadi adalah kasus bilateral club foot (foto dari www.bodyclinic.com).

Saat itu juga, menurut dokter, sebaiknya dilakukan tindakan gips pada kedua tungkai dari lutut hingga menutupi telapak kaki. Maka bulir-bulir airmatapun tak tertahankan ketika Syahid - waktu itu usia 8 hari - menjerit tanpa suara saat dokter 'mereparasi' kakinya, 'diluruskan hingga terdengar suara gemeretak, untuk kemudian disudahi dengan balutan gips.

"Tidak apa, Bu. Untunglah ibu segera kesini. Tulangnya masih 'muda', masih mudah dibentuk. Sebab ada ibu yang berpantang keluar rumah 40 hari setelah melahirkan. Tiga bulan saja, saya akan rekomendasikan operasi."

Saya tak bisa berkata-kata. Saat itu cuma sibuk mendiamkan Syahid di sela tangisnya yang membelah ruang periksa, "Anak tegar... Pejuang.. Yang kuat ya, sayang.."

Begitulah. Kami pulang dalam mobil yang diam dan airmata saya mengalir dengan begitu banyak sisa tanya, "Apa penyebabnya? Mengapa bisa terjadi?" Dokter hanya bisa jawab: "rahasia illahi" .. Ah, alangkah banyaknya rahasia illahi yang hari gini, makin dekat kiamat, sudah terkuak ... Sungguh saya tidak puas.

Di sini (http://www.klikdokter.com/illness/detail/13 dan body clinic) berbilang bulan kemudian, saya menemukan jawaban. Club footnya Syahid bisa jadi bukan penyakit, tapi bisa jadi positional equinovarus: terpuntirnya kaki karena 'kesalahan' posisi di dalam rahim.

Bukan Kiamat
Malam-malam pertama ia digips adalah malam yang tak nyenyak bagi saya, karena ia hanya bisa tenang kalau digendong dan ditimang-timang. Mungkin karena kesakitan. Apalagi kalau tubuhnya tampak kejang, tak bisa tidak Syahid harus saya dekap. Tak ayal mata sembab saya tak bisa disembunyikan pada tetamu yang siangnya datang menengok.

Gips di kaki Syahid harus diganti tiap satu pekan sekali. 24 jam kakinya harus lekat dengan lapisan semen itu, harus dijaga tak boleh kena air termasuk air pipis, sehingga sejak bayi merah lagi Syahid sudah 'menikmati' diaper, lengkap dengan ruam di selangkangannya.

Tiap kali ganti gips, setidaknya selama satu jam - pernah juga cuma setengah jam - kedua tungkainya bisa menghidup udara bebas. Biasanya saya manfaatkan dengan membaluri betis dan lutut dengan baby oil atau memotong kuku kaki.

Selama dibalut gips, bagaimana mandinya? Kata dokter bisa saja gipsnya dibalut plastic wrap, kemudian mandi seperti biasa. Tapi oh, ribet skali dan gips-pun pelan-pelan berguguran kena air. Maka selama gips menempel di kaki, Syahid tak pernah mandi nyemplung dalam bak apalagi diguyur. Hanya diseka dengan waslap.

Tidur? Tentu tak bisa tengkurap. Suara gemeretuk terdengar tiap kedua kaki beradu, baik saat tidur atau ketika digendong.

Tak kurang 7 pekan ia harus dalam keadaan seperti itu.

Awalnya berat. Baik di hati maupun di kantong. Tapi lama-lama kami, termasuk Syahid sendiri , akhirnya terbiasa dan menemukan banyak hikmah yang berserakan.

Kasus kaki Syahid membawa kami berkenalan dengan Kak Dewi. Putrinya juga menderita club foot yang lebih parah karena bersekandung dengan spina bifida, hilangnya satu ruas tulang belakang.

"Sebagai ibu, kita memang harus kuatkan hati. Saya fikir anak saya sudah parah sekali. Ternyata saya ke RSCM, masih sangat banyak yang lebih parah dari putri saya ..."
Itulah kata-kata Kak Dewi yang juga membuat saya membuka mata. Alhamdulillah, selain 'masalah'' di kakinya, Syahid sehat wal afiat. Badannya padat berisi. Perkembangan motoriknya hingga usia 6 bulan ini juga normal, sedang belajar duduk.

Sepatu Besi
Kini masa-masa balutan gips sudah berlalu. Tapi terapi belum selesai. Usai lepas gips, kaki Syahid masih harus memakai sepatu besi, dokter menyebutnya sepatu Dennis Brown, yang dipesan khusus di Solo melalui Bagian Fisioterapi RSUD Abdul Muluk, Bandar Lampung

You Might Also Like

0 comments

stats

Flickr Images