KCB: Bagus, Tapi Agak "Berat"

July 11, 2009
sepatu orthopadi orthoshoping.com sepatu untuk koreksi kaki pengkor/ bengkok pada balita arrow
Ads orthoshop info
sepatu orthopadi orthoshoping.com sepatu untuk koreksi kaki pengkor/ bengkok pada balita arrow
Ads orthoshop info

sepatu orthopadi orthoshoping.com sepatu untuk koreksi kaki pengkor/ bengkok pada balita arrow
Ads orthoshop info

Ketika Cinta Bertasbih: Bagus, Tapi Masih Agak "Berat"
Dan Catatan Tentang Poligami

Posting ini sengaja saya buat hanya dengan basic baca buku, lalu - barusan kemarin - nonton filmnya. Dengan begitu mudah-mudahan bisa lebih pure.

Berusaha tidak menilai. Apa daya sepanjang nonton hingga perjalanan pulang dengan suami, kami tetap tergoda untuk menilai dan tiba pada kesimpulan: "bagus, tapi masih agak berat." Tentu saja penonton merupakan pihak yang paling mudah bicara...

Tanpa menafikan proses kreatif, perjuangan Abik hingga akhirnya KCB - setelah Ayat-Ayat Cinta - difilmkan, kami sepakat bahwa seni dan hiburan tidak boleh tuna nilai (dan kalimat ini, tentu saja akan berujung "tapi"... - sabarlah). Sungguh, two thumbs up untuk keberanian produser meng'ikhlas'kan pemain2 hijau - tapi punya latar belakang kefasihan agama dan tentu saja yang sedap dipandang - bisa jadi pemeran utama di film ini.

Apa daya pula KCB kemudian harus dibentur dengan AAC yang konon begitu mengecewakan bukan saja untuk pembaca fanatik novelnya, tapi juga oleh Habiburahman Elshirazy, si penulis.

Akan tetapi bahwa syuting KCB betul-betul dilakukan di Mesir (bukan di India atau Kota Lama Semarang), bahwa pemainnya masih kelihatan 'hijau' (jangan bandingkan dengan Fedi Nuril atau Rianti Cartwright...), bahwa di dalamnya bertabur iklan bank dan motor matic, saya pikir itu sampiran saja.

Karena yang lebih penting dari semuanya adalah pertama, PESAN. Apakah pesan A bisa sampai di kepala khalayak penonton = A pula, bukan A' atau B atau Zzzzz ... KCB, baik novel maupun filmnya, jelas sarat pesan dakwah. Judulnya, jilbab pemainnya ... Pre-condition thinking, sebelum nonton orang sudah punya 'citra pendahuluan', bahwa dia akan dikhotbahi (benarkah? bersamaan dengan kami nonton, ada beberapa penonton berwajah tionghoa, berpakaian terbuka ... entahlah apakah teori pre condition thinking juga kena ke mereka?)

Kedua, apakah pesan itu tertangkap dengan cara yang 'indah'? Humor, penggambaran karakter tokoh KCB yang lembut (Anna), yang ngasiani (Azzam), yang snob tapi soleh (Furqon) bisa diramu jadi adonan gurih. Tapi dibilang 'berat', karena beberapa bagian terasa sangat menggurui. Yang nulis ini juga mungkin sotoy belotoy ... sok tahu bagaimana cara yang lebih cerdas supaya ngga menggurui (padahal, waduh ilmunya jauuh banget dibanding Mas Mamang ...).

Suasana yang ngikhwani banget, melamar tanpa jumpa yang mau dilamar, man-woman relationship yang 'terjaga', buat saya dan suami - serta kawan-kawan yang 'mengerti - it's all just fine. Tapi tidakkah semua pesan itu terlalu 'berjejalan' untuk orang-orang yang sangat-sangat awam dan abangan, atau bahkan bukan muslim? Hmm.. saya jadi ingat miss tionghoa berrok mini itu ...

Sungguh, seiris keprihatinan ini tiada lain karena ingin pesan dakwah KCB bisa sampai ke sebanyak mungkin dan seberagam mungkin manusia, sekali lagi, dengan cara yang indah.

"Saya Tidak Mengharamkan Poligami"

Begitu kata-kata Anna waktu dilamar Furqon, tepat seperti di buku (yang bikin KCB The Movie 'tidak mengecewakan' karena memang kesetiaan yang luar biasa pada novelnya).

Poin jeblok AAC The Movie - dan juga dieksploitasi dengan sangat serampangan (padahal novelnya sama sekali tidak menggambarkan demikian) - adalah poligaminya Fahri yang jadi super duper aneh. Keterpaksaan Fahri memoligami Maria - yang di novel seharusnya langsung 'dimatikan - dalam film justru dibuat berpanjang-panjang. Poligami Fahri tampak sengaja diangkat supaya jadi kontroversi.

Anna KCB kemudian jadi antitesis Aisha AAC. Anna memohon untuk tidak dipoligami (dengan tambahan kecuali ...), pakai membuka kitab Ibnu Khudama segala. Dan agaknya banyak muslimah yang merasa terwakili oleh Anna.

Ah, sudahlah. Lebih baik nonton saja. Biar bisa menilai sendiri. Sama suami, lebih asyik lagi ...

Berikut review Ekky Imanjaya (eimanjaya@yahoo.com), co-founder and editor of Rumahfilm.org , an Indonesian online film journal: ‘When Love Glorifies God’

You Might Also Like

0 comments

stats

Flickr Images