78. Hama Utama Tanaman Kacang Tanah: Bioekologi dan Cara Penanggulangannya
January 28, 2019
sepatu orthopadi
orthoshoping.com
sepatu untuk koreksi kaki pengkor/ bengkok pada balita
Ads orthoshop
sepatu orthopadi
orthoshoping.com
sepatu untuk koreksi kaki pengkor/ bengkok pada balita
Ads orthoshop
sepatu orthopadi
orthoshoping.com
sepatu untuk koreksi kaki pengkor/ bengkok pada balita
Ads orthoshop
Arifin, M. 1999. Hama utama tanaman kacang tanah: bioekologi dan cara penanggulangannya. Pelatihan Perbanyakan Benih Surnber Varietas Unggul Kacang Tanah dan Transfer Teknologi kepada Petani Penangkar Benih. Kerjasama Puslitbangtan dan BPTP Jawa Barat di Surade, Sukabumi, 2-8 Maret 1999. 14 p.
Muhammad Arifin
Balai Penelitian Bioteknologi Tanaman Pangan (Balitbio)
PENDAHULUAN
Ada ratusan jenis serangga yang berasosiasi dengan tanaman kacang tanah di Indonesia. Di antaranya, ada yang berstatus hama, predator, parasitoid, dan ada pula yang berstatus nontarget. Beberapa jenis serangga hama sering dijumpai di pertanaman dalam jumlah yang berlimpah dan mengakibatkan kehilangan hasil panen sehingga dikelompokkan sebagai hama utama.
Untuk mengendalikan hama tanaman, pemerintah telah mengeluarkan kebijakan bahwa dalam setiap program perlindungan tanaman harus didasarkan atas konsep dan strategi Pengendalian Hama Terpadu (PHT). Dasar hukum PHT tertera dalam GBHN V dan Inpres No. 3/1986 yang kemudian lebih dimantapkan lagi dengan UU No. 12/1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman. Pelaksanaannya, antara lain dengan menyebarkan PHT di tingkat petugas lapang dan petani melalui penyelenggaraan Sekolah Lapang PHT (SLPHT).
Di dalam makalah ini dikemukakan beberapa aspek bioekologi dan cara penanggulangan beberapa jenis hama kacang tanah berdasarkan pola pelaksanaan SLPHT.
BIOEKOLOGI
Pengisap Daun
Ada beberapa jenis serangga pengisap daun kacang tanah, yaitu kutu Aphis (Aphis
craccivora), wereng (Empoasca sp.), tungau merah (Tetranychus cinnabarinus), dan Thrip
sp.
a. Kutu Aphis
Kutu Aphis berukuran 0,8 mm. Serangga ini berkembang biak dengan cepat secara partenogenesis dan siklus hidupnya berlangsung selama 6 hari. Serangga dewasa umumnya tidak bersayap, tetapi apabila kualitas pakan menurun atau ruang geraknya semakin menyempit, maka Aphis akan membentuk sayap untuk tujuan migrasi. Proses pembentukan sayap sudah terjadi sejak stadium nimfa.
Kacang tanah merupakan salah satu tanaman inang Aphis. Kehadiran Aphis di pertanaman kacang tanah terjadi mulai tanaman muncul di atas permukaan tanah sampai menjelang panen, Kutu ini lebih menyukai bagian tanaman yang muda, seperti pucuk dan tangkai daun muda, tetapi pada keadaan populasi tinggi dapat tersebar sampai ke bagian tanaman yang tua.
Faktor lingkungan, seperti hujan, keadaan pertanaman, dan musuh alami mempengaruhi keberadaan Aphis di lapang. Kacang tanah yang ditanam pada musim kemarau terserang lebih berat bila dibandingkan dengan yang ditanam pada musim hujan karena curah hujan yang tinggi dapat menurunkan populasi Aphis secara drastis. Aphis dapat terbunuh oleh hujan atau secara tidak langsung, hujan menyebabkan kelembaban udara meningkat sehingga merangsang tumbuhnya cendawan yang mengganggu perikehidupan Aphis.
Sebagai hama, Aphis tidak menimbulkan gangguan, kecuali bila permukaan tanaman tertutup oleh noda hitam cendawan jelaga yang tumbuh dari hasil ekskresi Aphis. Noda hitam ini mengakibatkan terganggunya proses fotorespirasi tanaman dan menyebabkan daun berguguran sehingga kualitas fotosintat yang dihasilkannya menurun. Kerugian ekonomis dapat terjadi bila Aphis merupakan vektor virus. Jenis-jenis virus yang menyerang kacang tanah, antara lain peanut mottle virus (PMoV), peanut stripe virus (PStV), soybean stunt virus (SSV), bean yellow mosoic virus (BYMV).
Aphis memiliki beberapa jenis predator, seperti Coccinella spp. dan Scymus spp. (Coleoptera), Ischiodon scutellaris dan Leucopis sp. (Diptera), Chrysopa sp. dan Micromus sp. (Neuroptera), sedangkan jenis patogennya adalah Entomophtora sp. Pada tahun 1989, Indonesia mengintroduksi dua jenis parasitoid, yailu Trioxys indicus dari Australia dan Lysiphlebus testaceipes dari Amerika Serikat. L. testaceipes telah dilepas di lapang, tetapi belum ada laporan keberhasilannya untuk menetap, sedangkan T. indicus belum sempat dilepas di lapang karena terserang hiperparasit lokal.
b. Wereng Empoasca
Wereng Empoasca berwarna hijau kekuningan atau putih. Empoasca yang berwarna hijau kekuningan bersayap hijau pucat dan tarsi berwarna hijau, sedangkan Empoasca yang berwarna putih memiliki sayap depan dengan bercak merah. Imago Empoasca berukuran tubuh 2,5 mm, meletakkan telur di dalam mesofil daun.
Perkembangan telur hingga menjadi dewasa berlangsung 18-25 hari. Selain kacang tanah, Empoasca juga menyerang kedelai, kacang hijau, kacang tungggak, dan cabe. Serangan hama ini menyebabkan gejala menguning, terutama pada ujung daun.
c. Tungau merah
Tidak kurang dari 100 jenis tanaman dapat menjadi tanaman inang tungau ini. Beberapa di antaranya adalah kedelai, ubi kayu, kapas, jeruk, tomat, dan pepaya.
Imago tungau berukuran 0,5 mm. Tubuh bulat kemerahan, kaki dan alat mulutnya berwarna putih. Telur bulat, berwarna kuning pucat. Tungau ini hanya aktif pada siang hari. Ada dua stadia nimfa, yaitu protonimfa dan deutonimfa. Nimfa berwarna hijau atau kemerahan dan mempunyai empat pasang kaki. Umur nimfa 6-10 hari. Perkembangan dari telur sampai menjadi imago berlangsung 15 hari. Apabila daun tidak menunjang perkembangannya, maka tungau membuat benang-benang halus untuk pindah dengan cara bergantung pada benang tersebut. Aktivitas makan tungau meninggalkan bercak-bercak berwarna coklat pada permukaan daun. Selain itu, tungau membuat jaring-jaring benang sutera pada permukaan bawah daun. Pada populasi tinggi, warna daun menjadi keabu-abuan atau menjadi kotor kehitaman.
Pemakan Daun
Ada beberapa jenis pemakan daun kedelai yang berstatus hama utama, yaitu pengorok daun (Biloba subsecivella), penggulung daun (Lamprosema indicata), ulat jengkal (Chrysodeixis chalcites), dan ulat grayak (Spodoptera litura).
a. Pengorok daun
Selain menyerang kacang tanah, pengorok daun juga menyerang kedelai dan kacang tunggak. Akibat serangan hama ini, daun menjadi terlipat sepanjang tulang utama daun dan berwarna kecoklatan. Serangan hebat menyebabkan daun sebagian bahkan seluruhnya menjadi keriting.
Larva umumnya tinggal di lipatan daun atau di antara daun-daun yang terlipat. Larva berwarna hijau muda, terdapat bercak kecil berwarna hitam. Larva membentuk pupa di lipatan daun. lmago yang keluar dari kepompong berwarna abu-abu tua, meletakkan telur di bawah daun atau di pucuk-pucuk batang. Seekor imago betina dapat bertelur sebanyak 20-65 butir. Perkembangan telur hingga menjadi imago memerlukan waktu ± 32 hari. Seekor imago dapat hidup antara 12-18 hari.
b. Penggulung daun
Penggulung daun memiliki inang tanaman kacang tanah dan berbagai jenis kacang-kacangan lainnya. Ciri khas larva adalah terdapatnya dua bercak hitam pada kedua sisi prothorax. Sesuai dengan namanya, larva berdiam di dalam gulungan daun. Gulungan daun mulai dibentuk oleh larva muda pada bagian pucuk, tempat telur diletakkan. Setelah tumbuh menjadi lebih besar, larva berpindah ke daun yang lebih tua. Gulungan daun dibentuk dengan cara merekatkan daun satu dengan lainnya dari sisi dalam dengan semacam zat perekat yang dikeluarkan oleh larva yang bersangkutan. Bila gulungan daun dibuka, akan dijumpai larva berwarna hijau transparan yang bergerak cepat. Selama berdiam di dalam gulungan daun, larva memakan daun sehingga tampak hanya tulang daunnya saja yang tersisa. Pupa dibentuk di dalam gulungan daun tersebut. Imago yang terbentuk berukuran kecil dan berwarna coklat-kekuningan.
c. Ulat jengkal
Larva ulat jengkal berwarna hijau dan bergerak seperti menjengkal. Larva tua memiliki ciri khas, yaitu adanya tungkai palsu sebanyak tiga pasang dan garis lateral berwarna pucat sebanyak tiga pasang yang membujur dari mesonotum hingga ujung abdomen. Tubuh larva menyempit pada bagian apikal dengan kepala kecil, dan bila direntangkan, panjangnya 3 cm. Stadium larva terdiri atas lima instar. Umur larva berkisar antara 14-19 hari dengan rata-rata 16,2 hari.
Pupa berwarna hijau muda yang berangsur-angsur menjadi putih-kecoklatan. Pupa dibentuk di daun, ditutupi oleh kokon. Stadium pupa berlangsung selama 6-11 hari dengan rata-rata 6,8 hari. Stadium imago (ngengat) berlangsung selama 5-12 hari dengan rata-rata 8,5 hari. Imago meletakkan telur pada umur 4-12 hari. Produksi telur mencapai 1.250 butir per ekor imago betina. Telur diletakkan secara individual di permukaan bawah daun. Stadium telur berlangsung selama 3-4 hari dengan rata-rata 3,2 hari. Daur hidup ulat jengkal dari telur hingga imago bertelur berlangsung selama 30 hari.
Inang ulat jengkal adalah tanaman kacang tanah dan beberapa jenis tanaman pangan lainnya, sayuran, dan gulma selain rerumputan. Oleh karena itu, sifatnya polifag. Larva menyerang tanaman muda dan tua dengan gejala serangan berupa defoliasi, baik sebagian dengan masih tersisanya tulang daun, maupun total.
d. Ulat grayak
Larva ulat grayak memiliki ciri khas, yaitu terdapatnya dua buah bintik hitam seperti bulan sabit pada tiap ruas abdomen, terutama ruas keempat dan kesepuluh yang dibatasi oleh garis-garis lateral dan dorsal berwarna kuning yang membujur sepanjang badan. Setelah telur menetas, larva tinggal untuk sementara waktu di tempat telur diletakkan. Beberapa hari kemudian, larva tersebut berpencaran. Larva tua bersembunyi di dalam tanah pada siang hari dan giat menyerang tanaman pada malam hari. Stadium larva terdiri atas enam instar dan berlangsung selama 13-17 hari dengan rata-rata 14 hari. Pupa terbentuk di dalam rongga-rongga di dalam tanah, dekat permukaan tanah. Stadium pupa berlangsung selama 7-10 hari dengan rata-rata 8,5 hari. Stadium imago (ngengat) berlangsung selama 1-13 hari dengan rata-rata 9,3 hari.
Imago meletakkan telur pada umur 2-6 hari. Produksi telur dapat mencapai 3.000 butir per induk betina, tersusun atas 11 kelompok dengan rata-rata 350 butir per kelompok. Telur diletakkan berkelompok dan ditutupi oleh bulu-bulu halus berwarna coklat-kemerahan. Stadium telur berlangsung selama 3-5 hari dengan rata-rata 3 hari. Daur hidup ulat grayak dari telur hingga imago bertelur berlangsung selama 28 hari.
Larva muda menyerang daun sehingga bagian daun yang tertinggal hanya epidermis atas dan tulang-tulangnya saja. Larva tua juga merusak tulang-tulang daun sehingga tampak lobang-lobang bekas gigitan pada daun. Di samping kacang tanah, larva juga menyerang beberapa tanaman pangan lainnya, sayuran, tanaman industri, dan gulma.
e. Heliothis
Heliothis (Helicoverpa armigera) merupakan hama pemakan daun dan bunga kacang tanah. Selain kacang tanah, tanaman inangnya adalah kedelai, tembakau, jagung, sorgum, kapas, kentang, pupuk hijau, sayur-sayuran, dan tanaman hias. Larva tua berwarna-warni; hijau kekuningan, hijau, kecoklatan atau mendekati hitam dengan garis lateral yang terang agak bergelombang. Tubuh larva ditutupi oleh kutil dan rambut. Larva bersifat kanibal sehingga merupakan salah satu faktor kematian alami yang bersifat density dependent. Imago (ngengat) betina berwarna sawo matang, sedangkan yang jantan berwarna kehijauan. lmago umumnya bertelur secara berpencaran pada pucuk tanaman atau bunga pada malam hari. Telur berwarna kuning muda dengan umur telur 2-5 hari. Umur larva 18-25 hari, umur pupa 10-15 hari, dan umur imago 8-9 hari, pra peneluran 2-3 hari, dan kapasitas bertelur 1.062 butir per imago betina.
KONSEP DAN STRATEGI PHT
Umumnya, petani menanggulangi hama kacang tanah dengan mengandalkan insektisida yang diaplikasikan dengan cara yang sering kurang sesuai dengan kaidah-kaidah cara pengendalian yang bijaksana, seperti frekuensi yang terlalu tinggi, dosis insektisida yang kurang optimal, atau penggunaan volume semprot yang kurang dari semestinya. Penanggulangan hama dengan cara demikian itu sebenarnya bertentangan dengan konsep Pengendalian Hama Terpadu (PHT).
PHT merupakan konsep sekaligus strategi penanggulangan hama dengan pendekatan ekologi dan efisiensi ekonomi dalam rangka pengelolaan agroekosistem yang berwawasan lingkungan yang terlanjutkan. lni berarti bahwa pengendalian hama harus terkait dengan pengelolaan ekosistem secara keseluruhan. Pengelolaan ekosistem dimaksudkan agar tanaman dapat tumbuh sehat sehingga memiliki ketahanan ekologis yang tinggi terhadap hama. Untuk itu, petani harus melakukan pemantauan lapang secara rutin. Dengan demikian, perkembangan populasi dan faktor-faktor penghambat lainnya dapat diatasi/diantisipasi dan faktor-faktor pendukung dapat dikembangkan. Apabila dengan pengelolaan ekosistem tersebut masih terjadi peningkatan populasi dan serangan hama, langkah selanjutnya adalah tindakan pengendalian.
Sasaran PHT adalah: 1) produktivitas pertanian mantap tinggi, 2) penghasilan dan kesejahteraan petani meningkat, 3) populasi hama dan kerusakan tanaman karena serangannya tetap berada pada tingkatan yang secara ekonomis tidak merugikan, dan 4) pengurangan resiko pencemaran lingkungan akibat penggunaan pestisida. Strategi PHT adalah memadukan secara kompatibel semua taktik atau metode pengendalian hama. Taktik PHT, terutama adalah:
1. Pemanfaatan proses pengendalian alami dengan mengurangi tindakan-tindakan yang dapat merugikan atau mematikan perkembangan musuh alami.
2. Pengelolaan ekosistem melalui usaha bercocok tanam, yang bertujuan untuk membuat lingkungan tanaman menjadi kurang sesuai bagi perikehidupan hama serta mendorong berfungsinya agensia pengendali hayati. Beberapa teknik bercocok tanam, antara lain: a) penanaman varietas tahan, b) penanaman benih sehat, c) pergiliran tanaman dan pergiliran varietas, d) sanitasi, e) penetapan masa tanam, f) tanam serempak dan pengaturan saat tanam, g) penanaman tanaman perangkap/penolak, h) pengaturan jarak tanam, i) penanaman tumpang sari, j) pengelolaan tanah dan air, dan k) pemupukan berimbang sesuai dengan kebutuhan setempat.
3. Pengendalian fisik dan mekanis yang bertujuan untuk mengurangi populasi hama, mengganggu aktivitas fisiologis hama yang normal, serta mengubah lingkungan fisik menjadi kurang sesuai bagi kehidupan dan perkembangan hama.
4. Penggunaan pestisida secara selektif untuk mengembalikan populasi hama pada tingkat keseimbangannya. Selektivitas pestisida didasarkan atas sifat fiosiologis, ekologis, dan cara aplikasi. Penggunaan pestisida diputuskan setelah dilakukan analisis ekosistem terhadap hasil pengamatan dan ketetapan tentang ambang kendali. Pestisida yang dipilih harus yang efektif dan telah diizinkan.
PENERAPAN PHT
Ada empat prinsip yang ingin dilaksanakan dalam penerapan PHT, yaitu pembudidayaan tanaman sehat, pelestarian musuh alami, pemantauan secara rutin, dan pengambilan keputusan pengendalian oleh petani.
Budidaya Tanaman Sehat
Pengelolaan ekosistem melalui budidaya tanaman sehat bertujuan untuk membuat lingkungan pertanaman menjadi kurang sesuai bagi kehidupan, pertumbuhan, dan perkembangbiakan hama, serta mendorong berfungsinya agensia pengendalian hayati. Tujuan akhirnya adalah tingkat produksi yang maksimal dan aman dari gangguan hama. Oleh karena itu, budidaya tanaman sehat menjadi bagian penting dalam program pengendalian hama. Tanaman yang sehat mempunyai ketahanan ekologis yang tinggi terhadap gangguan hama. Beberapa macam teknik budidaya tanaman yang dianjurkan adalah:
a. Penanaman varietas tahan
Penanaman varietas tahan sebagai salah satu komponen sistem PHT berfungsi sebagai cara pengendalian utama dan juga sebagai tambahan terhadap cara pengendalian lain. Penggunaan varietas tahan memiliki keunggulan, antara lain bersifat spesifik, kumulatif, persisten, murah, dan kompatibel dengan cara pengendalian lain, khususnya pengendalian hayati. Kelemahan penggunaan varietas tahan adalah kemungkinan terjadinya perkembangan biotipe serangga yang mampu menyerang varietas tahan.
b. Penanaman benih sehat
Benih yang akan disebar/ditanam dipilih berdasarkan kriteria. bersertifikat dan/atau sehat, unggul, dan tahan hama. Benih yang sehat apabila ditanam akan tumbuh lebih cepat dan lebih tahan terhadap gangguan hama. Untuk itu, jangan menggunakan benih yang berasal dari pertanaman yang terserang hama.
c. Pergiliran tanaman
Pergiliran tanaman dan pergiliran varietas dimaksudkan untuk memutus rantai makanan sehingga dapat memutus siklus hidup hama, maupun menghindari risiko ketidak-seimbangan unsur hara yang tersedia.
d. Sanitasi
Sisa-sisa tanaman, gulma, dan tanaman inang lainnya di sekitar pertanaman merupakan tempat bertahan hidup hama. Oleh karena itu, pemusnahannya perlu dilakukan untuk memperkecil sumber inokulum awal. Sebagai contoh, di daerah kronis serangan tikus, biasanya terdapat banyak sarang tikus di semak-semak dan di bawah tumpukan sisa-sisa tanaman. Semak dan sisa tanaman di sekitar pertanaman harus dibersihkan.
e. Penetapan pola tanam
Pengaturan pola tanam dimaksudkan untuk membuat lingkungan yang kurang menguntungkan bagi hama untuk bertahan hidup, tumbuh dan berkembangbiak. Cara ini biasanya tidak memberikan hasil yang memuaskan karena sifatnya hanya mengurangi populasi hama. Namun demikian, cara ini cocok untuk diterapkan dalam program pengendalian hama karena menciptakan lingkungan yang relatif stabil dan tidak memberikan hasil pengendalian yang beragam, seperti yang dihasilkan bila mengandalkan pestisida saja.
Di lahan persawahan yang airnya berlimpah, umumnya petani menanam padi dua atau tiga kali dalam setahun. Penanaman satu jenis tanaman secara terus-menerus, apalagi dilakukan secara tidak serempak, memberikan peluang terjadinya eksplosi hama. Di lahan kering, petani menanam non-padi (palawija/sayuran) dua kali dalam setahun. Selama periode bera, populasi hama menurun. Pola tanam yang ideal di persawahan adalah padipadi-palawija/sayuran. Penanaman padi dua kali berturut-turut menggunakan varietas yang berbeda. Pola tanam yang ideal di lahan kering adalah dua atau tiga kali penanaman palawija/sayuran berlainan jenis.
f. Tanam serempak dan pengaturan waktu tanam
Tanam serempak dilakukan dalam areal seluas-luasnya, yaitu pada hamparan dalam satu golongan air atau dengan batas-batas alami, seperti perkampungan atau topografi tertentu.
Tujuan bertanam serempak adalah untuk: 1) menciptakan populasi hama serendah-rendahnya pada awal pertumbuhan tanaman, 2) menciptakan populasi hama yang "seragam" agar perkembangannya lebih mudah diamati dan pengendaliannya juga lebih mudah dilakukan, 3) menghindari sumber serangan (dari tanaman yang tidak bertanam serempak), dan 4) mengencerkan populasi hama dan vektor virus per satuan luas.
Tujuan perencanaan waktu tanam adalah untuk 1) menghindarkan masa rentan tanaman dari serangan hama, dan 2) mengusahakan agar pada saat tanaman tumbuh, populasi hama rendah.
g. Penanaman tumpangsari
Tanaman palawija/sayuran biasanya ditanam secara tumpangsari. Populasi hama yang ditemukan bervariasi dari waktu ke waktu; mungkin jarang atau relatif berlimpah, tetapi keberadaannya stabil.
Pelestarian Musuh Alami
Di dalam ekosistem pertanian terdapat kelompok makhluk hidup yang tergolong predator, parasitoid, dan patogen. Ketiga kelompok makhluk hidup yang disebut musuh alami tersebut mampu mengendalikan populasi hama. Tanpa bekerjanya musuh alami, hama akan memperbanyak diri dengan cepat sehingga dapat merusak tanaman.
Predator merupakan kelompok musuh alami yang sepanjang hidupnya memakan mangsanya. Predator memiliki bentuk tubuh yang relatif besar sehingga mudah dilihat. Contoh predator penting adalah laba-laba Lycosa pseudoannulata, kumbang Coccinella arcuata dan Paederus fuscipes.
Parasitoid memiliki inang yang spesifik, berukuran relatif kecil sehingga sulit dilihat. Umumnya, parasitoid hanya memerlukan seekor serangga inang. Parasitoid meletakkan telurnya secara berkelompok atau individual di dalam atau di sebelah luar tubuh inangnya. Bila sebutir telur parasitoid menetas dan berkembang menjadi dewasa, maka inangnya akan segera mati. Parasitoid dapat menyerang telur, larva, nimfa, kepompong, atau inang dewasa. Contoh parasitoid penting adalah Apenteles sp.
Berbagai jenis patogen serangga dapat menyebabkan infeksi pada inangnya. Kelompok patogen serangga utama adalah cendawan, virus, dan bakteri. Contoh patogen serangga penting adalah cendawan Beauveria bassiana, virus nuclear-polyhedrosis, dan bakteri Bacillus thuringiensis. Patogen serangga dapat diproduksi secara massal dengan biaya relatif murah dalam bentuk cairan atau tepung yang dalam pelaksanaannya di lapang dapat disemprotkan seperti halnya dengan pestisida.
Usaha melestarikan musuh alami dilakukan dengan berbagai cara, antara lain:
1. Pendayagunaan teknik budidaya tanaman sehat yang mendorong berperannya musuh alami, misalnya penanaman varietas tahan, sanitasi selektif, dan penanaman dengan sistem tumpangsari.
2. Pengumpulan dan pemeliharaan kelompok telur. Parasitoid telur yang muncul dibiarkan lepas ke pertanaman, sedangkan telur yang menetas menjadi ulat, dimusnahkan.
3. Penggunaan pestisida secara bijaksana. Pestisida digunakan secara selektif, sebagai pilihan terakhir apabila populasi hama tidak dapat dikendalikan dengan cara lain dan apabila berdasarkan hasil pemantauan, populasi hama telah melampaui ambang kendali.
Pemantauan Ekosistem
Masalah hama biasanya timbul karena hasil kerja kombinasi unsur-unsur lingkungan yang sesuai, baik biotik (tanaman atau makanan) maupun abiotik (iklim, cuaca, dan tanah), serta campur tangan manusia yang dapat mendukung pertumbuhan dan perkembangan populasi hama. Oleh karena itu, pemantauan ekosistem pertanaman yang intensif secara rutin oleh petani merupakan dasar analisis ekosistem untuk pengambilan keputusan dan melakukan tindakan yang diperlukan.
Kegiatan pemantauan populasi hama ditujukan untuk menentukan apakah populasi hama tersebut telah melampaui tingkat kerusakan ekonomis. Hal tersebut dimaksudkan agar populasi hama tidak terlambat dikendalikan. Dalam kegiatan tersebut, tingkat populasi hama tidak ditentukan dengan menghitung banyaknya individu hama secara keseluruhan di lapang, tetapi dengan menduga populasi hama berdasarkan teknik penarikan contoh.
Pemantauan populasi pada pertanaman dianjurkan seminggu sekali, mulai awal pertumbuhan tanaman hingga menjelang panen. Banyaknya individu hama di lapang dihitung dengan unit contoh berupa tanaman tunggal, rumpun tanaman, atau sejumlah tanaman per meter baris. Dalam hal ini perlu diingat bahwa unit contoh kecil yang berjumlah banyak memberikan data lebih dipercaya daripada unit contoh besar yang berjumlah sedikit.
Metode pemantauan umumnya dilakukan secara a) acak, menggunakan tabel nomor acak pada beberapa unit habitat, b) acak berstrata, yaitu dengan membagi lahan menjadi beberapa strata yang tidak tumpang tindih kemudian banyaknya unit contoh dibagi secara proporsional untuk tiap stratum dan ditempatkan secara acak, 3) acak diagonal, yaitu dengan mengambil contoh secara acak pada bidang diagonal lahan, dan 4) sistematik, yaitu dengan mengambil contoh pada selang ruang atau waktu tertentu. Pemilihan terhadap metode pemantauan umumnya didasarkan atas ketentuan yang berhubungan dengan tingkat kepercayaan dan biaya penarikan contoh.
Kegiatan pemantauan juga dilakukan terhadap jenis dan populasi musuh alami dan keadaan tanaman. Tingkat kerusakan tanaman akibat serangan OPT ditentukan dengan rumus sebagai berikut:
a
P = ----- x 100%
N
P= tingkat kerusakan (%);
s= jumlah tanaman atau bagian tanaman yang terserang;
N= jumlah tanaman atau bagian tanaman yang diamati.
∑ (ni x vi)
P = -------------- X 100%
ZN
P= tingkat kerusakan (%);
ni= jumlah tanaman atau bagian tanaman yang diamati dari tiap kategori serangan;
vi= nilai skala tiap kategori serangan;
Z= skala kategori serangan tertinggi;
N= jumlah tanaman atau bagian tanaman yang diamati.
Nilai kategori serangan (v):
0= tidak ada serangan;
1= kerusakan >0 – 25%;
2= kerusakan >25 – 50%;
3= kerusakan >50 – 75%;
4= kerusakan >7S – 100%.
Pengambilan Keputusan Pengendalian
Petani sebagai pengambil keputusan di lahannya sendiri hendaknya memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam menganalisis ekosistem serta mampu menetapkan keputusan pengendalian hama secara tepat sesuai dengan prinsip-prinsip PHT. Contoh pengambilan keputusan pengendalian hama berdasarkan hasil pemantauan ekosistem adalah sebagai berikut :
1. Apabila ada tanaman atau sisa tanaman yang menunjukkan gejala terserang penyakit, maka tanaman dicabut dan dibenamkan ke dalam tanah, dan sisa tanaman dimusnahkan dengan jalan dibakar.
2. Di daerah kronis serangan suatu jenis hama, dilakukan penundaan waktu tanam, yaitu setelah puncak populasi hama terlewati.
3. Apabila ditemukan kelompok telur, segera dilakukan pengumpulan dan memeliharanya. Parasitoid telur yang muncul dibiarkan lepas ke pertanaman. Pengumpulan kelompok telur dilakukan setelah terlihat penerbangan ngengat, dengan selang waktu paling lambat 4 hari sekali, sehingga telur belum sempat menetas.
4. Dilakukan pengumpulan dan mematikan individu hama yang ditemukan di persemaian.
5. Apabila populasi ngengat mengkhawatirkan, dilakukan penangkapan ngengat dengan lampu (petromaks atau lampu listrik) yang dipasang di atas campuran air dan minyak tanah (perbandingan 40:1). Lampu dipasang di sekitar pertanaman.
6. Apabila ditemukan liang-liang aktif tikus dan tanda-tanda keberadaan populasi tikus di lahan, maka dilakukan gropyokan, sanitasi lingkungan, dan pengumpanan beracun menggunakan rodentisida antikoagulan. Kalau memungkinkan, dilakukan pemagaran menggunakan plastik yang dikombinasikan dengan bubu perangkap tikus.
7. Apabila populasi hama melampaui ambang kendali dan populasi musuh alami relatif berlimpah, maka jangan dilakukan pengendalian. Tetapi apabila populasi musuh alami relatif sedikit, maka dilakukan pengendalian dengan insektisida efektif.
PENANGGULANGAN HAMA KACANG TANAH
Penanggulangan hama didasarkan atas pendekatan pengelolaan ekosistem secara menyeluruh. Untuk mempermudah pelaksanaan PHT, maka ekosistem didekati berdasarkan stadia pertumbuhan tanaman. Setiap stadia pertumbuhan tanaman mempunyai ciri khas hubungan antara tanaman, hama, dan lingkungannya. Ini mencakup ekosistem pra dan pasca tanam.
1. Pratanam
Pratanam merupakan tahap perencanaan ekosistem yang dilakukan oleh organisasi di tingkat kelompok tani dan menjalin kerjasama antar kelompok tani. Ekosistem yang direncanakan merupakan keadaan yang sedemikian rupa sehingga tidak memberikan kesempatan bagi hama untuk berkembang biak, tetapi justru memberikan kesempatan kepada unsur-unsur pengendali alami mampu bekerja seoptimal mungkin. Perencanaan ekosistem ini terwujud dalam bentuk Rencana Definitif Kelompok (RDK) dan Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK). Di sini disusun, antara lain pola tanam yang akan dilaksanakan, varietas yang akan ditanam, waktu tanam, kebutuhan dan pengelolaan air, kebutuhan sarana produksi dan penyediaannya, jumlah dan waktu penyediaan sarana produksi, dan lain-lain perencanaan yang berkaitan dengan usaha tani.
Kegiatan perencanaan dan pelaksanaan dalam periode pratanam, antara lain meliputi:
a. Perencanaan tanam serempak dan waktu tanam
- Kacang tanah ditanam secara serempak dengan selisih waktu antara tanam awal dan tanam akhir tidak lebih dari 10 hari, dilakukan pada areal yang seluas-luasnya, yaitu pada hamparan dalam satu golongan air atau dengan batas-batas alami, seperti perkampungan atau topografi tertentu.
b. Perencanaan pergiliran tanaman
- Bertanam kacang tanah setelah padi akan mengurangi serangan hama dan penyakit karena kebanyakan hama dan penyakit padi tidak menyerang kacang tanah, demikian pula sebaliknya.
- Pergiliran tanaman disesuaikan dengan jenis lahan, tipe pengairannya, dan lamanya bulan basah. Selain itu kacang tanah dapat ditanam secara tumpangsari dengan jagung atau ubi kayu.
- Pada lahan bekas kedelai atau kacang-kacangan sering masih terdapat sumber inokulum penyakit Rhizoctonia solani dan layu cendawan (Sclerotium rolfsii) yang dapat menyerang kacang tanah, namun biasanya serangan yang terjadi kurang-dari 15%.
c. Perencanaan varietas dan persiapan benih
- Gunakan varietas unggul yang cocok untuk lahan setempat dan apabila memungkinkan gunakan varietas yang tahan lagak tahan/toleran terhadap penyakit (Tabel 3).
- Gunakan benih berlabel, yaitu benih murni (tidak tercampur dengan varietas lain), berdaya kecambah 90% atau lebih, mulus, tidak keriput, tidak berlobang, dan sehat (tidak terserang cendawan). Jangan gunakan benih yang berasal dari lokasi atau pertanaman yang terserang virus belang.
d. Perencanaan teknik budidaya tanaman lainnya
- Teknik budidaya tanaman lainnya, seperti pengolahan tanah, pembuatan saluran drainase, sanitasi, dan perbaikan lahan masam juga direncanakan dan dilaksanakan berdasarkan anjuran agronomis.
2. Tanam
Penanaman benih kacang tanah dilaksanakan sesuai dengan anjuran agronomis, seperti penggunaan inokulasi Rhizobium untuk lahan yang jarang ditanami kacang tanah, waktu tanam, jarak tanam, cara tanam, dan pemupukan.
3. Fase tanaman muda (kurang dari 10 hst)
Hama dan penyakit penting yang mungkin dijumpai adalah virus belang kacang tanah (PSIV) yang ditularkan oleh serangga vektor (Aphis craccivora) yang dapat menggagalkan pembentukan polong, dan bakteri layu (Pseudomonas solanacearum) yang dapat mematikan tanaman kacang tanah, terutama saat menjelang pembungaan.
Pengamatan dilakukan sejak perkecambahan, terutama pada umur 7 hst. Pengamatan populasi atau intensitas serangan hama/penyakit dilakukan terhadap 10 rumpun contoh yang diambil secara sistematik-diagonal dalam petak alami kemudian dianalisis untuk pengambilan keputusan pengendaliannya.
Pada fase ini biasanya belum dijumpai adanya hama atau penyakit yang mengancam. Namun apabila ditemukan populasi A. craccivora dan Orosius argentatus (sejenis wereng, sebagai vektor mikoplasma atau sapu setan) maka perlu perhatian serius. Pada fase ini biasanya dijumpai predator laba-laba dan kumbang Coccinellidae. Keberadaan musuh alami tersebut akan membantu menekan populasi hama dan vektor virus. Oleh karena itu, dalam pengambilan keputusan hendaknya dilakukan dengan cermat.
Kotiledon yang terkena penyakit dikumpulkan dan dibuang di luar lahan pertanian (dikubur/dibakar) agar tidak menjadi sumber infeksi pada tanaman sekitarnya atau karena sebagai patogen tular tanah. Apabila dijumpai vektor virus atau mikoplasma, dilakukan pengendalian dengan insektisida efektif.
4. Fase vegetatif (11-30 hst)
Hama utama yang mungkin dijumpai adalah pengorok daun (Biloba subsecivella), ulat penggulung daun (Lamprosema indicata), ulat jengkal (Chrisodeixis chalcites), ulat grayak (Spodoptera litura), Empoasca sp., dan tungau. Serangan virus yang ditularkan vektor, yaitu Aphis dan Orosius sampai tanaman berumur 21 hst masih sangat potensial. Kadang-kadang terjadi serangan bakteri layu dan layu cendawan yang sangat cepat dan mematikan tanaman. Dapat pula terjadi serangan Cercosporium personatum dan Cercospora arachidicola (bercak daun) dan Puccinia arachidis (karat). Kerusakan daun pada fase ini masih dapat dikompensasi dengan pembentukan daun baru sehingga kurang berpengaruh terhadap hasil panen. Namun demikian, keberadaan hama daun perlu diwaspadai agar tidak terjadi kerusakan berat.
Pada fase ini biasanya dijumpai berbagai jenis musuh alami. Predator biasanya lebih dominan daripada parasitoid. Predator yang banyak ditemukan, antara lain laba-laba, kumbang Coccinellidae, capung, semut, belalang sembah, tabuhan, dan kumbang Carabidae. Parasitoid yang mungkin dijumpai adalah Apanteles sp. Di beberapa lokasi sering ditemukan populasi musuh alami cukup tinggi sehingga berperan dalam penekanan populasi hama. Kerusakan daun pada fase ini biasanya relatif rendah dan tidak menurunkan hasil panen secara nyata. Oleh karena itu, pengendalian hama daun, seperti pengorok daun, ulat grayak, dan penggulung daun cukup dilakukan secara mekanis.
Apabila populasi ulat grayak relatif rendah, maka pengendaliannya dilakukan dengan cara pengumpulan ulat grayak yang baru menetas dan masih mengelompok pada daun tempat telur diletakkan. Apabila populasi pengorok daun, ulat grayak, ulat jengkal, dan penggulung daun melampaui ambang pengendalian, maka dilakukan pengendalian dengan insektisida efektif. Apabila terdapat tanaman yang menunjukkan gejala serangan virus belang, sapu setan, layu cendawan, dan layu bakteri, maka sanitasi selektif harus dilakukan, yaitu tanaman dicabut, dikumpulkan dan dibuang atau dibakar di luar lahan pertanian. Apabila ditemukan populasi vektor virus di daerah serangan virus belang, maka perlu dilakukan pengendalian dengan menggunakan insektisida efektif. Apabila terdapat 20% daun terkena bercak daun dan karat, perlu dilakukan pengendalian dengan fungisida efektif.
5. Fase generatif (berbunga, berpolong, sampai menjelang panen (31-100/110 hst)
Hama yang mungkin dijumpai adalah pengorok daun, penggulung daun, ulat grayak dan ulat jengkal, meskipun biasanya kurang berarti. Namun demikian, tetap diperlukan pemantauan. Penyakit penting yang berkembang pada fase generatif seperti pada fase vegetatif, yaitu layu bakteri, layu cendawan, bercak daun, karat, virus belang, dan sapu setan.
Pengamatan gejala penyakit harus lebih diperhatikan terhadap pertanaman calon benih. Demikian juga terhadap populasi musuh alami. Berdasarkan hasil pemantauan populasi dan serangan hama serta keberadaan musuh alaminya, maka apabila dijumpai populasi hama, pengendaliannya sedapat mungkin dilakukan secara mekanis. Akan tetapi, apabila populasi hama melampaui ambang kendali, maka dilakukan pengendalian dengan insektisida efektif. Apabila dijumpai ulat terparasit atau ulat terinfeksi virus, kemungkinan tidak perlu menggunakan insektisida. Penyakit yang muncul pada fase lanjut relatif sulit dikendalikan. Oleh karena itu, harus diantisipasi sejak dini.
6. Panen dan pasca panen
Apabila panen terlambat, kacang tanah yang telah tumbuh dan yang masih muda harus dipisahkan dari yang tua (yang akan disimpan). Hal ini karena kacang tanah yang telah tumbuh dan polong muda merupakan media yang baik untuk pertumbuhan cendawan Aspergillus flavus (penghasil aflatoxin) dan Penicillium sp.
Waktu dan cara panen, serta memprosesan panenan dilakukan sebagaimana yang dianjurkan. Kacang tanah yang akan dijadikan benih harus disortir dan dikeringkan dalam bentuk polong agar tidak terkontaminasi cendawan, bebas hama gudang, dan kidar airnya tetap hingga dapat disimpan sampai 1 tahun atau lebih. Biji untuk benih berkadar air 7% dapat pula disimpan dalam plastik tebal yang tertutup rapat.
PERANAN PETUGAS LAPANG
Untuk dapat menerapkan keempat prinsip, yaitu pembudidayaan tanaman sehat, pemantauan secara rutin, pelestarian musuh alami, dan pengambilan keputusan pengendalian oleh petani, petugas lapang harus mampu: 1) memahami konsepsi dan proses penerapan PHT di lapang, 2) memberikan bimbingan dan rekomendasi penerapan PHT bagi petani, dan 3) mengusahakan agar petani memahami dan melaksanakan proses penerapan PHT di lahan usaha taninya sendiri.
Tahap awal dalam pengendalian hama adalah perencanaan ekosistem. Ekosistem yang direncanakan merupakan keadaan yang tidak memberikan kesempatan bagi hama untuk berkembang biak, tetapi memberikan kesempatan bagi unsur-unsur pengendali alami mampu bekerja seoptimal mungkin. Langkah yang perlu dilakukan adalah persiapan organisasi petani berupa pemantapan kelompok tani dan pertemuan untuk membahas persiapan tanam pada musim yang akan segera dilaksanakan.
Salah satu kegiatan perencanaan yang penting adalah menyusun RDK (Rencana Definitif Kelompok) dan RDKK (Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok) untuk kegiatan usahatani secara menyeluruh. Hal-hal yang perlu dipersiapkan, antara lain penetapan pola tanam, penentuan varietas, pengolahan tanah, sanitasi sumber serangan hama, waktu sebar/tanam, pengelolaan air, penyediaan kebutuhan sarana yang meliputi jenis (benih bersertifikat, pupuk), jumlah dan waktu penyediaannya. Persiapan tersebut diarahkan pada penciptaan keadaan yang dapat meningkatkan pengendalian alamiah untuk menjamin langkanya populasi hama. Hal ini bertujuan untuk menciptakan keseimbangan atau kestabilan ekosistem.
Pendekatan pengendalian hama didasarkan atas pendekatan pengelolaan ekosistem secara menyeluruh. Pendekatan pengelolaan ekosistem dilakukan secara sederhana sehingga petani mampu memahami dan melaksanakannya, sesuai dengan kemajuan teknologi.
Untuk mempermudah pelaksanaan PHT, maka ekosistem didekati berdasarkan fase pertumbuhan tanaman karena tiap fase memiliki ciri khas hubungan antara tanaman, hama dan lingkungannya. Untuk itu, usaha pembudidayaan tanaman sehat, pengamatan hama, pengamatan musuh alami, dan pengamatan komponen-komponen ekosistem lainnya perlu dilakukan agar pengambilan keputusan didasarkan atas keadaan keseluruhan komponen komponen ekosistem pada berbagai fase pertumbuhan tanaman. Sebagai contoh, bila populasi hama dan musuh alami masih dalam perbandingan yang menguntungkan hama, dan keadaan lingkungan tidak menguntungkan hama, maka keputusan yang diambil adalah tidak perlu dilakukan tindakan pengendalian. Akan tetapi, bila terjadi keadaan sebaliknya, maka tindakan pengendalian perlu dilakukan.
PROSPEK DAN TANTANGAN
Penerapan konsep PHT berskala luas, terutama pada padi dinilai cukup berhasil. Hal ini ditunjukkan, antara lain oleh semakin mampunya petani mengelola tanaman, termasuk menangani masalah hama. Keberhasilan penerapan PHT tersebut disebabkan, antara lain oleh adanya kelompok-kelompok tani. Melalui kelompok tani, berbagai cara pengendalian, terutama yang membutuhkan kerjasamma sesama petani dalam satu hamparan atau ekosistem, seperti tanam serempak dan pergiliran tanaman, dapat diterapkan. Di samping itu, dukungan Pemerintah Daerah melalui program pemasyarakatan PHT, penyediaan sarana fisik dan informasi, serta pengorganisasian pelaksanaan PHT, demikian juga peranan lembaga-lembaga penelitian dan perguruan tinggi dalam menyempurnakan teknologi PHT, mendorong keberhasilan penerapan PHT. Modal keberhasilan penerapan PHT tersebut tetap harus dipertahankan dan dikembangkan karena dengan pengetahuan dan ketrampilan petani dalam menerapkan PHT diharapkan akan membuat petani lebih mampu mengatasi masalah hama.
Kenyataan menunjukkan bahwa keberhasilan penerapan PHT tersebut belum merata di seluruh petani di lndonesia. Di beberapa daerah, organisasi kelompok tani masih sangat lemah, atau hanya formalitas saja. Kondisi kelompok tani demikian tentu saja harus dibenahi. Kelompok-kelompok tani harus dibentuk, kemudian diperkuat dan dijadikan organisasi yang permanen. Pemerintah Daerah dan instansi terkait diharapkan memiliki program pemasyarakatan dan pelaksanaan PHT, antara lain melalui penyelenggaraan pelatihan seperti SLPHT.
Teknologi PHT, terutama pemanfaatan musuh alami dan varietas kedelai tahan hama dirasakan belum mantap sepenuhnya sehingga sering menyulitkan petani untuk menentukan alternatif cara pengendalian yang cocok dan memadukannya secara serasi. Belum manatapnya teknologi tersebut dapat dimaklumi karena PHT di lndonesia masih dalam taraf pemantapan. Namun demikian, PHT harus dilaksanakan seiring dengan usaha menyempurnakan teknologinya.
0 comments