98. Tingkat Kerusakan Ekonomi Hama Kepik Coklat pada Kedelai
January 25, 2019
sepatu orthopadi
orthoshoping.com
sepatu untuk koreksi kaki pengkor/ bengkok pada balita
Ads orthoshop
sepatu orthopadi
orthoshoping.com
sepatu untuk koreksi kaki pengkor/ bengkok pada balita
Ads orthoshop
sepatu orthopadi
orthoshoping.com
sepatu untuk koreksi kaki pengkor/ bengkok pada balita
Ads orthoshop
Arifin, M. dan W. Tengkano. 2008. Tingkat kerusakan ekonomi hama kepik coklat pada kedelai. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan. 27(1): 47-54.
Muhammad Arifin1 dan Wedanimbi Tengkano2
1Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian
Jl. Tentara Pelajar 3A Bogor, Jawa Barat
2Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian
Jl. Kendalpayak, Kotak Pos 66 Malang, Jawa Timur
ABSTRACT. Economic Injury Level for The Bean Bug Riptortus linearis (L.) on Soybean. Decision-making of pest control based on the economic injury level (EIL) was a judicious step to suppress a high risk of the expensive production cost and environmental disturbance. This experiment was conducted to determine the EIL value for the bean bug as a criterion for decision making of pest control using insecticides. The EIL value was determined by the break-even point principle of the pest control, i.e., a balance between the yield loss due to pest control action and cost of the pest control. The results indicated that soybean yield losses due to the bean bug at different bean bug stadia and plant growth stages could be expressed in a linier regression model: y = - 0.007 + 1.746 x [y= yield loss (%); x= bean bug population (bugs/10 hills]. At a population range of 0 to 8 bean bugs/10 hills, the higher the population, the higher the yield loss. The EIL value for the bean bug at different bean bug stadia and plant growth stages were expressed in a multiple regression equation: y = 2.328 + 0.008 x1 . 0.717 x2 [y= the EIL value (bugs/10 hills); x1= cost of the pest control (x Rp 1,000/ha); x2= soybean price (x Rp 1,000/kg)]. If the cost to control the pest at different plant growth stages was Rp 240,000/ha and the soybean price was Rp 3,000/kg, then the EIL value for the bean bug was 2.1 bugs/10 hills.
Keywords: Bean bug, soybean, economic injury level
ABSTRAK. Pengambilan keputusan pengendalian hama berdasarkan tingkat kerusakan ekonomi (TKE) merupakan langkah bijaksana untuk mengurangi risiko tingginya biaya produksi dan terganggunya lingkungan. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan nilai TKE hama kepik coklat sebagai kriteria pengambilan keputusan pengendalian dengan insektisida. Nilai TKE ditentukan dengan menerapkan prinsip impas pengendalian hama, yakni kesetaraan antara nilai kehilangan hasil yang diselamatkan oleh tindakan pengendalian hama dan biaya pengendalian hama. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kehilangan hasil kedelai akibat infestasi kepik coklat pada berbagai stadia kepik dan umur tanaman dinyatakan dengan persamaan regresi y = - 0,007 + 1,746 x [y= kehilangan hasil (%); x= populasi kepik coklat (ekor/10 rumpun]. Pada kisaran populasi kepik coklat 0-8 ekor/10 rumpun, makin tinggi populasi, makin tinggi pula kehilangan hasil. Nilai TKE kepik coklat pada berbagai stadia kepik dan umur tanaman dinyatakan dengan persamaan regresi berganda y = 2,328 + 0,008 x1 . 0,717 x2 [y= nilai TKE (ekor/10 rumpun); x1= biaya pengendalian (x Rp 1.000/ha); x2= harga kedelai (x Rp 1.000/kg)]. Apabila biaya pengendalian kepik coklat Rp 240.000/ha dan harga kedelai Rp 3.000/kg, maka nilai TKE kepik coklat adalah 2,1 ekor/10 rumpun.
Kata kunci: Kepik coklat, kedelai, tingkat kerusakan ekonomi
Kepik coklat Riptortus linearis (L.) (Hemiptera: Alydidae) merupakan salah satu serangga hama pengisap polong yang dapat mengakibatkan kehilangan hasil, bahkan dapat menggagalkan panen pada kedelai. Hama ini menyerang polong muda dan tua sehingga polong dan biji kempis, polong gugur, biji keriput, hitam membusuk, berbercak hitam, dan berlubang. Serangan pengisap polong pada biji menyebabkan daya tumbuh biji berkurang (Tengkano et al. 1992).
Sampai saat ini, pengendalian hama oleh sebagian besar petani didasarkan atas ada atau tidaknya serangan, dan satu-satunya alat pengendali yang tersedia dan siap pakai adalah insektisida. Pengendalian dengan insektisida dilakukan secara berkala, mulai sejak tanaman muda hingga menjelang panen, dengan selang waktu dua minggu, dan dengan dosis sesuai rekomendasi yang tertera pada kemasan (Marwoto 1992). Cara ini dapat menimbulkan dampak negatif, antara lain biaya produksi terlalu tinggi dan terganggunya kelestarian lingkungan. Untuk mengurangi dampak negatif tersebut, pengendalian hama dengan insektisida harus didasarkan atas konsep Pengendalian Hama Terpadu (PHT).
Dalam konsep PHT, pengendalian hama merupakan satu kesatuan sistem pengelolaan agroekosistem dengan penekanan pada upaya mengintegrasikan semua teknologi pengendalian yang cocok dan mendorong berfungsinya proses pengendalian alami untuk mempertahankan populasi pada tingkat keseimbangan rendah. Tujuan PHT adalah: (a) menurunkan status hama, (b) menjamin keuntungan pendapatan petani, (c) melestarikan kualitas lingkungan, dan (d) menyelesaikan masalah hama secara berkelanjutan (Pedigo and Higley 1992).
Penggunaan insektisida sebagai sarana pengendalian dibenarkan bila manfaat yang diperoleh dari segi ekonomi sekurang-kurangnya sama dengan biaya pengendalian hama, dan dari segi ekologi, bila komponen ekosistem, baik fisik maupun biologis, tidak mampu menekan populasi hama dan mempertahankannya pada tingkat keseimbangan rendah. Kedua dasar penggunaan insektisida tersebut melahirkan gagasan tentang konsep tingkat kerusakan ekonomi (TKE, economic injury level).
TKE adalah tingkat populasi terendah yang dapat mengakibatkan kerusakan ekonomi (economic damage) pada tanaman (Stern et al. 1959). Konsep tersebut telah dikembangkan oleh para pakar sebagai dasar pengambilan keputusan pengendalian hama dengan insektisida secara rasional. Komponen penting dalam menentukan TKE adalah informasi mengenai tingkat kehilangan hasil panen karena serangan hama. Informasi tersebut diperoleh dari model regresi hubungan antara tingkat populasi hama dan persentase kehilangan hasil panen.
Peneltian ini dilakukan berdasarkan pentingnya nilai TKE sebagai dasar pengambilan keputusan pengendalian hama kepik coklat. Tujuannya adalah untuk menentukan nilai TKE kepik coklat pada kedelai.
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini dilaksanakan di Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian (IPPTP) Mojosari, Jawa Timur, pada bulan Juni sampai Desember 2000. Ada 14 seri percobaan infestasi kepik coklat pada beberapa umur tanaman kedelai, masing-masing menggunakan rancangan acak kelompok dengan lima taraf populasi sebagai perlakuan, yakni 0 (kontrol), 2, 4, 6, dan 8 ekor/10 rumpun. Kelima taraf perlakuan tersebut ditentukan berdasarkan perkiraan bahwa nilai TKE kepik coklat berada di antaranya. Tiap perlakuan diulang empat kali. Ke-14 seri percobaan tersebut, yakni: (1) imago pada 42 hari setelah tanam (HST), (2) imago pada 49 HST, (3) nimfa instar III (n3) pada 49 HST, (4) imago pada 56 HST, (5) n3 pada 56 HST, (6) nimfa instar IV (n4) pada 56 HST, (7) imago pada 63 HST, (8) n3 pada 63 HST, (9) n4 pada 63 HST, (10) nimfa instar V (n5) pada 63 HST, (11) imago pada 70 HST, (12) n3 pada 70 HST, (13) n4 pada 70 HST, dan (14) n5 pada 70 HST. Tiap petak perlakuan berisi 10 rumpun contoh.
Imago kepik coklat diperoleh dari lapang, kemudian dibiakkan secara alami dengan kacang panjang dalam kurungan kain kasa. Kapas digunakan sebagai tempat imago meletakkan telur. Telur-telur dikumpulkan setiap hari, kemudian dipelihara dalam cawan petri sampai menetas. Untuk mempertahankan kelembaban tinggi, dalam cawan petri tersebut disediakan sepotong kacang panjang segar. Nimfa yang keluar dari telur dipelihara dalam kurungan plastik milar dan diberi pakan kacang panjang yang telah berisi biji. Pakan diperbaharui tiga hari sekali.
Lahan seluas lebih kurang 3.000 m2 ditanami kedelai varietas Wilis dengan jarak tanam 40 cm x 20 cm, 3 biji per lubang. Pada saat tanam, tanaman dipupuk urea, SP36, dan KCl, masing-masing dengan takaran 50 kg, 100 kg, dan 75 kg/ha. Pada umur 14 dan 21 HST, tanaman diberi pupuk daun 2 g/l air. Penyiangan dilakukan pada saat tanaman berumur 14 dan 30 HST. Pengairan dilakukan sebelum dan sesudah tanam kemudian dilanjutkan 10 hari sekali.
Dua minggu sebelum infestasi serangga, tanaman disemprot dengan insektisida deltametrin 25 g/l untuk mengatasi serangan hama yang tidak diinginkan. Residu penyemprotan insektisida tersebut tidak berpengaruh negatif terhadap kepik coklat yang akan diinfestasikan.
Kehilangan Hasil
Tanaman contoh sebanyak 10 rumpun per perlakuan disungkup dengan kain kasa berukuran 100 cm x 100 cm x 100 cm pada 12 jam sebelum infestasi. Penyungkupan tanaman dimaksudkan agar tidak terjadi serangan hama yang tidak diinginkan. Tanaman dalam sungkup diinfestasi dengan kepik coklat sesuai perlakuan. Sungkup dilepas pada 7 hari setelah infestasi kemudian tanaman disemprot dengan insektisida setiap minggu sampai tanaman berumur 77 HST.
Panen dilakukan pada 90 HST. Pengamatan dilakukan terhadap jumlah polong, biji terserang, dan bobot biji hasil panen. Data dianalisis dengan sidik ragam, kemudian dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan (Gomez and Gomez 1984). Tingkat kerusakan polong dan atau biji dihitung dengan rumus berikut:
Jumlah polong atau
biji terserang
Tingkat kerusakan = ---------------------------------- x 100%
polong atau biji (%) Jumlah polong atau
biji yang diamati
Nilai kehilangan hasil untuk tiap perlakuan dihitung dengan rumus:
Hp - Hi
KHi = -------------- x 100%
Hp
KHi = persentase kehilangan hasil pada perlakuan i,
Hp = hasil panen potensial yang diperoleh pada kontrol,
Hi = hasil panen pada perlakuan i.
Model kehilangan hasil untuk hubungan antara populasi serangga dan kehilangan hasil panen pada berbagai stadia serangga dan umur tanaman dinyatakan dengan persamaan regresi linier (Gomez and Gomez 1984):
y = a + bx
y = kehilangan hasil panen,
a = konstanta regresi,
b = koefisien regresi,
x = populasi serangga.
Setelah berbagai persamaan regresi linier tersebut diduga, dilakukan pengujian homogenitas terhadap berbagai koefisien regresinya. Apabila ada dua atau lebih koefisien regresi yang dinyatakan homogen, dibuat satu persamaan regresi yang mewakili beberapa persamaan regresi dengan koefisien regresi yang homogen.
Penentuan TKE
Penghitungan nilai TKE kepik coklat didasarkan atas prinsip titik impas pengendalian hama, yakni kesetaraan nilai antara biaya pengendalian dan kehilangan hasil panen yang diselamatkan oleh tindakan pengendalian hama. Urutan langkahnya adalah sebagai berikut:
1. Penentuan ambang perolehan (gain threshold), yakni kehilangan hasil yang diselamatkan oleh tindakan pengendalian hama, diperoleh dari rumus:
BP
AP = ------------ x 100%
HK X E
AP = ambang perolehan (kg/ha),
BP = biaya pengendalian (Rp/ha),
HK = harga kedelai (Rp/kg),
E = efektivitas pengendalian (%).
2. Penentuan persentase kehilangan hasil panen untuk ambang perolehan (langkah 1), diperoleh dari rumus:
AP
KH = -------- x 100%
PH
KH = kehilangan hasil panen (%),
AP = ambang perolehan (kg/ha),
PH = potensi hasil panen di daerah setempat (kg/ha).
3. Penentuan persamaan regresi hubungan antara populasi hama (x) dan persentase kehilangan hasil panen (y) pada berbagai umur tanaman, diperoleh dari hasil percobaan mengenai kehilangan hasil panen kedelai akibat infestasi kepik coklat di lapang.
4. Penentuan nilai TKE kepik coklat, diperoleh dengan cara mensubstitusikan nilai y pada persamaan regresi (langkah 3) dengan nilai KH (langkah 2).
Urutan langkah tersebut mengikuti metode yang telah diterapkan oleh Arifin (1994) berdasarkan hasil modifikasi metode Stone dan Pedigo (1972), dengan mempertimbangkan efektivitas pengendalian yang diinginkan (Pedigo and Higley 1992).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tingkat Kerusakan Polong dan Biji
Data pengamatan tingkat kerusakan polong dan biji kedelai varietas Wilis yang diinfestasi kepik coklat pada berbagai umur tanaman, stadia serangga, dan populasi serangga disajikan dalam Tabel 1. Data tersebut menunjukkan bahwa tingkat kerusakan polong dan biji mulai terjadi setelah tanaman diinfestasi dengan 2 ekor kepik coklat per 10 rumpun. Tingkat kerusakan tertinggi diperoleh setelah tanaman diinfestasi dengan 8 ekor kepik coklat per 10 rumpun.
Persamaan regresi hubungan antara populasi kepik coklat dan tingkat kerusakan polong memiliki koefisien regresi (r) yang bersifat homogen (P= 0,01) untuk lima perlakuan umur tanaman kedelai varietas Wilis (42, 49, 56, 63, dan 70 HST), tetapi tidak bersifat homogen untuk empat perlakuan stadia serangga (nimfa instar III, nimfa instar IV, nimfa instar V, dan imago). Oleh karena itu, dibuat empat persamaan regresi tunggal dengan koefisien regresi homogen yang mewakili empat stadia serangga tersebut, seperti yang disajikan pada Gambar 1. Keempat persamaan regresi homogen tersebut menunjukkan bahwa pada kepadatan populasi minimum 0 ekor/10 rumpun dan populasi maksimum 8 ekor/10 rumpun (0 ≤ x ≤ 8), makin tinggi populasi kepik coklat, makin tinggi pula tingkat kerusakan polongnya.
Umur tanaman (HST) | Populasi (ekor/10 rumpun) | Tingkat kerusakan polong dan biji (%) pada stadium | |||||||
Imago | Nimfa 3 | Nimfa 4 | Nimfa 5 | ||||||
Polong | Biji | Polong | Biji | Polong | Biji | Polong | Biji | ||
42 | 0 | 0,0 a | 0,0 c | ||||||
2 | 20,9 a | 1,0 b | |||||||
4 | 41,9 a | 1,7 ab | |||||||
6 | 62,8 a | 2,4 a | |||||||
8 | 84,2 a | 2,8 a | |||||||
49 | 0 | 0,0 c | 0,0 d | 0,0 a | 0,0 a | ||||
2 | 1,7 b | 0,8 c | 0,7 a | 0,4 a | |||||
4 | 1,9 b | 0,9 bc | 1,1 a | 0,6 a | |||||
6 | 2,1 b | 1,1 b | 1,6 a | 0,9 a | |||||
8 | 3,8 a | 1,9 a | 1,9 a | 1,3 a | |||||
56 | 0 | 0,0 d | 0,0 d | 0,0 a | 0,0 a | 0,0 c | 0,0 c | ||
2 | 1,7 c | 0,9 c | 0,7 a | 0,4 a | 0,9 b | 0,5 b | |||
4 | 2,2 bc | 1,0 c | 1,0 a | 0,5 a | 1,2 b | 0,6 b | |||
6 | 2,7 b | 1,4 b | 1,2 a | 0,7 a | 1,8 a | 0,9 a | |||
8 | 3,7 a | 1,9 a | 1,7 a | 0,9 a | 2,3 a | 1,1 a | |||
63 | 0 | 0,0 d | 0,0 c | 0,0 d | 0,0 e | 0,0 d | 0,0 d | 0,0 a | 0,0 d |
2 | 2,4 c | 1,1 b | 0,8 c | 0,4 d | 0,9 c | 0,5 c | 1,2 a | 0,6 c | |
4 | 2,7 bc | 1,2 b | 1,1 c | 0,7 c | 1,2 c | 0,8 b | 1,5 a | 0,8 c | |
6 | 3,6 ab | 1,8 a | 1,9 b | 1,0 b | 1,9 b | 1,0 b | 2,1 a | 1,2 b | |
8 | 4,5 a | 1,8 a | 3,1 a | 1,4 a | 3,0 a | 1,5 a | 3,3 a | 1,6 a | |
70 | 0 | 0,0 d | 0,0 e | 0,0 c | 0,0 c | 0,0 d | 0,0 d | 0,0 d | 0,0 d |
2 | 1,8 c | 1,0 d | 0,6 b | 0,4 b | 1,3 c | 0,5 c | 1,7 c | 0,7 c | |
4 | 2,6 b | 1,3 c | 1,0 b | 0,6 b | 2,0 bc | 0,9 b | 2,3 b | 1,1 b | |
6 | 3,3 ab | 1,7 b | 2,0 a | 1,1 a | 2,8 ab | 1,3 ab | 3,4 a | 1,5 a | |
8 | 4,3 a | 2,3 a | 2,4 a | 1,3 a | 3,3 a | 1,5 a | 4,0 a | 1,7 a |
Angka selajur yang diikuti oleh huruf sama tidak berbeda nyata pada taraf 0,05 uji jarak berganda Duncan
Tingkat kerusakan polong tertinggi terjadi pada perlakuan imago kemudian diikuti oleh perlakuan nimfa instar V dan IV, dan yang terendah pada perlakuan nimfa instar III. Perbedaan tingkat kerusakan polong ini disebabkan oleh perbedaan perilaku kepik coklat dalam menghisap polong pada berbagai stadia serangga. Kepik coklat stadia imago bergerak lebih bebas bila dibandingkan dengan stadia nimfa instar V, demikian juga nimfa instar V bergerak lebih bebas dibandingkan dengan nimfa instar IV, dan nimfa instar IV bergerak lebih bebas bila dibandingkan dengan nimfa instar III. Makin leluasa kepik coklat bergerak, makin besar peluangnya menghisap polong dan makin banyak polong yang dirusak.
Persamaan regresi hubungan antara populasi kepik coklat dan tingkat kerusakan biji pada berbagai stadia serangga dan umur tanaman kedelai varietas Wilis memiliki beberapa koefisien regresi (r) yang bersifat homogen (P= 0,01). Oleh karena itu, untuk mewakilinya, dibuat persamaan regresi tunggal dengan koefisien regresi homogen, seperti yang disajikan pada Gambar 2. Persamaan regresi homogen tersebut menunjukkan bahwa pada kepadatan populasi minimum 0 ekor/10 rumpun dan populasi maksimum 8 ekor/10 rumpun (0 ≤ x ≤ 8), makin tinggi populasi kepik coklat makin tinggi pula tingkat kerusakan biji.
Pada tingkat populasi yang relatif rendah, kepik coklat mungkin belum mengakibatkan kerusakan polong dan biji, sehingga tidak cukup alasan untuk diberlakukannya tindakan pengendalian. Pada keadaan ini, tanaman biasanya mampu mentolerir tingkat kerusakan rendah, bahkan mampu mengkompensasi kerusakan dengan cara menyalurkan lebih banyak energi ke sumber-sumber pertumbuhan (Meyer 2003). Tindakan pengendalian kepik coklat baru dapat dibenarkan bila kerusakan tanaman yang terjadi sebanding dengan biaya yang dikeluarkan untuk menyelamatkan kerusakan tanaman.
Hasil dan Kehilangan Hasil Panen
Data hasil dan kehilangan hasil panen kedelai varietas Wilis yang diinfestasi kepik coklat pada berbagai umur tanaman, stadia serangga, dan populasi serangga disajikan dalam Tabel 2. Data tersebut menunjukkan bahwa berdasarkan analisis sidik ragam, hasil kedelai tidak dipengaruhi oleh infestasi kepik coklat pada tingkat populasi 0 hingga 8 ekor/10 rumpun. Hal ini dimaklumi karena macam perlakuan populasi kepik coklat sengaja dibuat pada tingkat yang relatif rendah, sesuai dengan kebutuhan untuk penghitungan nilai TKE kepik coklat. Pengaruh infestasi kepik coklat terhadap hasil panen akan nyata bila populasinya lebih dari 8 ekor/10 rumpun.
Tabel 2. Tingkat Hasil dan kehilangan hasil panen (%) kedelai varietas Wilis setelah diinfestasi kepik coklat pada berbagai umur tanaman, stadia serangga, dan populasi serangga
Umur tanaman (HST) | Populasi (ekor/10 rumpun) | Hasil dan kehilangan hasil panen pada stadium | |||||||
Imago | Nimfa 3 | Nimfa 4 | Nimfa 5 | ||||||
Hasil (g/10 rumpun) | % | Hasil (g/10 rumpun) | % | Hasil (g/10 rumpun) | % | Hasil (g/10 rumpun) | % | ||
42 | 0 | 245,7 | 0,0 | ||||||
2 | 231,1 | 6,0 | |||||||
4 | 206,8 | 12,6 | |||||||
6 | 211,2 | 14,1 | |||||||
8 | 214,9 | 15,9 | |||||||
49 | 0 | 230,0 | 0,0 | 224,0 | 0,0 | ||||
2 | 221,9 | 3,5 | 223,7 | 0,1 | |||||
4 | 212,9 | 7,4 | 219,7 | 1,9 | |||||
6 | 202,1 | 12,1 | 202,5 | 9,6 | |||||
8 | 203,5 | 11,5 | 197,4 | 11,9 | |||||
56 | 0 | 220,4 | 0,0 | 211,3 | 0,0 | 217,3 | 0,0 | ||
2 | 214,3 | 2,8 | 199,4 | 5,7 | 213,4 | 1,8 | |||
4 | 203,4 | 7,7 | 197,4 | 6,6 | 199,4 | 8,2 | |||
6 | 198,5 | 9,9 | 182,4 | 13,7 | 171,6 | 21,0 | |||
8 | 193,0 | 12,4 | 181,6 | 14,1 | 174,4 | 19,7 | |||
63 | 0 | 206,4 | 0,0 | 209,8 | 0,0 | 221,1 | 0,0 | 207,3 | 0,0 |
2 | 204,8 | 0,7 | 194,2 | 7,4 | 202,0 | 8,7 | 197,1 | 4,9 | |
4 | 190,1 | 7,9 | 199,7 | 4,8 | 203,8 | 7,8 | 197,6 | 4,6 | |
6 | 180,5 | 12,5 | 190,3 | 9,3 | 195,6 | 11,5 | 193,5 | 6,6 | |
8 | 183,1 | 11,3 | 178,0 | 15,2 | 180,4 | 18,4 | 190,2 | 8,2 | |
70 | 0 | 215,8 | 0,0 | 206,3 | 0,0 | 218,5 | 0,0 | 225,0 | 0,0 |
2 | 202,0 | 6,4 | 202,8 | 1,7 | 215,7 | 1,3 | 205,7 | 8,6 | |
4 | 191,1 | 11,5 | 181,5 | 12,0 | 208,2 | 4,7 | 203,9 | 9,4 | |
6 | 185,8 | 13,9 | 187,2 | 9,3 | 205,0 | 6,2 | 182,6 | 18,8 | |
8 | 174,3 | 19,2 | 173,0 | 16,1 | 186,4 | 14,7 | 181,2 | 19,5 | |
tn | tn | tn | tn |
Data kehilangan hasil panen yang juga disajikan dalam Tabel 2 digunakan untuk menentukan model hubungannya dengan populasi kepik coklat pada berbagai stadia serangga dan umur tanaman kedelai varietas Wilis. Hubungan yang dinyatakan dalam bentuk persamaan regresi linier tersebut memiliki beberapa koefisien regresi (r) yang bersifat homogen (P=0,01). Oleh karena itu, untuk mewakilinya, dibuat persamaan regresi tunggal dengan koefisien regresi homogen, seperti yang disajikan pada Gambar 3. Persamaan regresi homogen tersebut menunjukkan bahwa pada kepadatan populasi minimum 0 ekor/10 rumpun dan populasi maksimum 8 ekor/10 rumpun (0 ≤ x ≤ 8), makin tinggi populasi kepik coklat makin tinggi pula tingkat kehilangan hasil panen.
Sebagai ilustrasi, apabila terjadi infestasi hama kepik coklat 2 ekor/10 rumpun, maka berdasarkan persamaan regresi pada Gambar 3, kehilangan hasil 3,5% atau setara dengan 95,6 kg/ha (potensi hasil kedelai varietas Wilis 2.731 kg/ha) atau senilai Rp 286.673/ha (harga kedelai Rp 3.000/kg).
Penentuan TKE
Penghitungan nilai TKE kepik coklat didasarkan atas data (a) persamaan regresi hubungan antara populasi kepik coklat dan tingkat kehilangan hasil pada berbagai stadia serangga dan umur tanaman kedelai varietas Wilis (Gambar 3); (b) potensi hasil panen kedelai varietas Wilis diperoleh dari rata-rata hasil panen pada perlakuan kontrol (0 ekor/10 rumpun) pada 42, 49, 56, 63, dan 70 HST (Tabel 2), yaitu 218,5 g/10 rumpun atau 2.731 kg/ha (1 ha= 125.000 rumpun); (c) harga kedelai varietas Wilis di lokasi percobaan (IPPTP Mojosari) Rp 3.000/kg; (d) harga insektisida deltametrin Rp 180.000/l/ha; (e) biaya aplikasi insektisida Rp 60.000/2 orang/hari/ha; dan (f) efektivitas pengendalian hama 80%. Berdasarkan data tersebut dan rumus untuk menghitung TKE, maka nilai TKE hama kepik coklat dapat ditentukan, yaitu rata-rata 2,1 ekor/10 rumpun atau 21 ekor/100 rumpun.
Penentuan nilai TKE di atas bersifat kurang dinamis karena hasilnya valid untuk situasi harga pasar tertentu. Apabila harga pasar berubah, maka nilai TKE juga berubah. Untuk menentukan nilai TKE yang lebih dinamis, biaya pengendalian dibuat bervariasi antara Rp 200.000/ha dan Rp 350.000/ha, dan harga kedelai bervariasi antara Rp 2.500/kg dan Rp 3.500/kg. Hasil penghitungan nilai TKE pada berbagai biaya pengendalian dan harga kedelai tersebut disajikan Gambar 3. Hubungan antara populasi kepik coklat dan tingkat dalam Tabel 3.
Tabel 3. Hasil penghitungan nilai TKE hama kepik coklat pada berbagai variasi biaya pengendalian dan harga kedelai varietas Wilis
No. | Biaya pengendalian (Rp/ha) | Harga kedelai (Rp/kg) | Ambang perolehan (kg/ha) | Potensi hasil (kg/ha) | Kehilangan hasil (%) | TKE (ekor/10 rumpun) |
1. | 200.000 | 2.500 | 100,0 | 2.731 | 3,7 | 2,09 |
2. | 250.000 | 3.000 | 104,2 | 3,8 | 2,18 | |
3. | 300.000 | 3.500 | 107,1 | 3,9 | 2,24 | |
4. | 350.000 | 4.000 | 109,4 | 4,0 | 2,29 | |
5. | 200.000 | 3.000 | 83,3 | 3,1 | 1,74 | |
6. | 250.000 | 3.500 | 89,3 | 3,3 | 1,87 | |
7. | 300.000 | 4.000 | 93,8 | 3,4 | 1,96 | |
8. | 350.000 | 2.500 | 175,0 | 6,4 | 3,67 | |
9. | 200.000 | 3.500 | 71,4 | 2,6 | 1,49 | |
10. | 250.000 | 4.000 | 78,1 | 2,9 | 1,63 | |
11. | 300.000 | 2.500 | 150,0 | 5,5 | 3,14 | |
12. | 350.000 | 3.000 | 145,8 | 5,3 | 3,05 | |
13. | 200.000 | 4.000 | 62,5 | 2,3 | 1,31 | |
14. | 250.000 | 2.500 | 125,0 | 4,6 | 2,62 | |
15. | 300.000 | 3.000 | 125,0 | 4,6 | 2,62 | |
16. | 350.000 | 3.500 | 125,0 | 4,6 | 2,62 |
Berdasarkan data dalam Tabel 3 diperoleh suatu model persamaan regresi berganda sebagai berikut:
y = 2,328 + 0,008 x1 - 0,717 x2
R2 = 0,974**
y = nilai TKE kepik coklat (ekor/10 rumpun);
x1 = biaya pengendalian (x Rp 1.000/ha);
x2 = harga kedelai (x Rp 1.000/kg)
Model persamaan regresi tersebut menunjukkan bahwa nilai TKE bervariasi menurut perubahan biaya pengendalian dan harga kedelai. Meningkatnya biaya pengendalian akan meningkatkan nilai TKE, tetapi meningkatnya harga kedelai akan menurunkan nilai TKE. Jadi, berdasarkan persamaan regresi berganda tersebut, apabila biaya pengendalian kepik coklat Rp 240.000/ha dan harga kedelai konsumsi Rp 3.000/kg, maka nilai TKE kepik coklat rata-rata 2,1 ekor/10 rumpun atau 21 ekor/10 rumpun. Dengan demikian, hasil penghitungan TKE kepik coklat yang bersifat dinamis tersebut cocok dengan penghitungan TKE kepik coklat yang bersifat statis.
Pengambilan Keputusan Pengendalian
Sejak Stern et al. (1959) mengemukakan konsep TKE, para pakar bersepakat untuk mengembangkannya sebagai dasar pengambilan keputusan pengendalian dengan insektisida. Dalam hal ini, petani sebagai pengambil keputusan tidak boleh menunggu hingga populasi hama mencapai TKE, tetapi harus segera memulai tindakan pengendalian sebelum populasi hama mencapai TKE. Maksudnya, agar tersedia waktu bagi petani untuk mempersiapkan diri sebelum tindakan pengendalian dilakukan. Apabila populasi hama telah mencapai TKE sementara petani baru mulai mempersiapkan diri, tindakan pengendalian akan terlambat karena populasi hama telah melampaui TKE. Tingkat populasi hama sebelum mencapai TKE dikenal sebagai ambang ekonomi (economic threshold) atau ambang kendali (action threshold).
Untuk menentukan apakah populasi hama kepik coklat telah mencapai TKE, kegiatan pemantauan populasi hama tersebut harus dilakukan secara berkala. Umumnya, kepadatan populasi hama tidak ditentukan dengan cara menghitung banyaknya individu serangga hama secara keseluruhan, tetapi dengan cara penarikan contoh pada beberapa unit tanaman, baik secara acak maupun sistematik, bergantung pola sebaran populasi serangga (Ruesink 1980). Apabila rata-rata populasi hama kepik coklat mendekati 2,1 ekor/10 rumpun, tindakan pengendalian harus segera dilakukan.
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil-hasil percobaan TKE kepik coklat pada tanaman kedelai varietas Wilis dapat disimpulkan dan disarankan beberapa hal berikut:
1. Kehilangan hasil kedelai karena kepik coklat dapat diduga dengan persamaan regresi linier sederhana yang berlaku pada populasi minimum 0 ekor/10 rumpun dan populasi maksimum 8 ekor/10 rumpun: Y = - 0.007 + 1,746 X. Y= tingkat kehilangan hasil panen kedelai (%); X= populasi kepik coklat (ekor/10 rumpun).
2. Nilai TKE kepik coklat pada berbagai biaya pengendalian dan harga kedelai dapat ditentukan dengan model persamaan regresi berganda. Apabila biaya pengendalian hama kepik coklat Rp 240.000/ha dan harga kedelai Rp 3.000/kg, nilai TKE hama kepik coklat adalah 2,1 ekor/10 rumpun.
3. Berdasarkan kriteria TKE, tindakan pengendalian hama kepik coklat harus segera dilakukan sebelum populasinya mencapai 2,1 ekor/10 rumpun. Pengendalian yang dilakukan setelah itu akan mengalami kerugian karena biaya yang dikeluarkan lebih tinggi daripada nilai kehilangan hasil panen yang akan diselamatkan.
4. Untuk pengambilan keputusan pengendalian hama kepik coklat, perlu dilakukan penelitian teknik penarikan contoh beruntun populasi kepik coklat pada berbagai stadia serangga dan tanaman kedelai.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Yulianti, SPd dan Drs. Bedjo yang telah membantu pelaksanaan penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, M. 1994. Economic injury level and sequential sampling technique for the common cutworm, Spodoptera litura (F.) on soybean. Contr. Central Research Institute Food Crops Bogor. 82: 13-37.
Gomez, K.A. and A.A. Gomez. 1984. Statistical procedures for agricultural research. 2nd ed. John Wiley & Sons, New York. 680 p.
Marwoto. 1992. Masalah pengendalian hama kedelai di tingkat petani, p. 37-43. Dalam: Marwoto et al. (penyunting). Risalah Lokakarya Pengendalian Hama Terpadu Tanaman Kedelai. Balittan Malang.
Meyer, J.R. 2003. Economic injury level. www.cals.nscu.edu/course/ent425/ tutorial/economics.html
Pedigo, L.P. and L.G. Higley. 1992. The economic injury level concept and environmental quality. American Entomologist. 38(1):12-21.
Ruesink, W.G. 1980. Intoduction to sampling plans for soybean arthropods, p. 61-78. In: M. Kogan and D.C. Herzog (Eds.). Sampling methods in soybean entomology. Springer-Verlag, New York.
Stern, V.M., R.F. Smith, R. van den Bosch, and K.S. Hagen. 1959. The integrated control concept. Hilgardia. 29:81-101.
Stone, J.D. and L.P. Pedigo. 1970. Development and economic injury level of the green cloverworm on soybean in Iowa. J. Econ. Entomol. 65:197-201.
Tengkano, W., M. Iman, dan A.M. Tohir. 1992. Bioekologi, serangan dan pengendalian hama pengisap dan penggerek polong kedelai, p. 117-139. Dalam: Marwoto et al. (Eds.). Risalah Lokakarya Pengendalian Hama Terpadu Tanaman Kedelai. Balittan Malang. 183 p.
0 comments