Kebun Tempat Aku Mengais Rejeki

January 25, 2019
sepatu orthopadi orthoshoping.com sepatu untuk koreksi kaki pengkor/ bengkok pada balita arrow
Ads orthoshop info
sepatu orthopadi orthoshoping.com sepatu untuk koreksi kaki pengkor/ bengkok pada balita arrow
Ads orthoshop info

sepatu orthopadi orthoshoping.com sepatu untuk koreksi kaki pengkor/ bengkok pada balita arrow
Ads orthoshop info



Hari pertama  tugas ke luar kota setelah pindah dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan ke Badan Pelaksana Penyuluhan dan Ketahanan Pangan Kabupaten Manggarai merupakan pengalaman yang tak terlupakan.  Lokasi yang aku kunjungi tidak jauh dari kota Ruteng tepatnya di desa Kenda - kecamatan Wae Rii. Tujuannya adalah untuk memonitoring perkembangan persiapan lahan dan persiapan calon peserta kegiatan pengembangan tanaman hortikultura  jenis sayuran di beberapa wilayah   berdasarkan kesesuaian  iklim dan minat petani setempat.  

Sudah kubayangkan pasti sangat menyenangkan karena akan menyusuri jalan desa  dengan udara sejuk dan pemandangan alam nan elok sebagai bonus yang akan kuterima. 

Sebelum berangkat kusiapkan semua perlengkapan antara lain  surat tugas, beberapa format, alat tulis dan tak lupa kamera untuk mendokumentasikan perjalananku.  Semuanya kumasukkan dalam tas ransel kesayangan yang kelihatan semakin usang karena termakan usia. 

Di luar rumah udara dingin dan lembab seakan tak mau beranjak.   Mentari terlihat samar-samar di balik gumpalan awan kelabu.     Meskipun sudah dipenghujung April masih saja diselimuti kabut. Sejak dahulu kota Ruteng telah menyatu  dengan udara dingin, mendung dan hujan, sehingga tak heran bila ada yang menjulukinya sebagai kota hujan.  Beruntung memiliki topografi  berbukit-bukit sehingga tidak sampai kebajiran seperti kota Jakarta. Menyadari kondisi cuaca yang kurang bersahabat tak lupa kusertakan  mantel hujan di bagasi motor. 

Setelah semuanya siap aku meninggalkan rumah pukul 8.30 pagi. Kupacu motor bebekku dengan kecepatan rendah 30 km/jam, terasa lebih  santai sambil menikmati keindahan alam dan hiruk pikuk perkampungan yang berjejer sepanjang kiri kanan jalan.  Sesekali bertanya pada masyarakat  arah jalan agar tidak tersesat karena terdapat beberapa persimpangan yang membingungkan.  

Perjalananku ternyata tidak semulus yang aku bayangkan,   orang-orang yang ingin aku jumpai di Kantor BPK Wae Rii sedang tugas luar, untung masih bertemu seorang ibu penyuluh pertanian desa Kenda. Dari ibu itu aku memperoleh informasi tentang persiapan lahan dan persiapan kelompok tani hortikulura yang akan dikembangkan di wilayah tersubut.

Sebelum melanjutkan perjalanan, aku mendokumentasikan lokasi yang  telah disiapkan oleh kelompok.  Beberapa lahan untuk pengembangan wortel sudah ditanami  sawi putih karena pendropingan benih belum dilakukan oleh  instansi terkait. Menurutku itu tindakan yang sangat kreatif, tidak membiarkan lahan terlantar. 

Perjalanan pulang menyusuri jalan yang cukup panjang,  ingin  mengunjungi sebuah desa  yang juga mengembangkan tanaman hortikultura. Pemandangan sawah dengan latar belakang  bukit-bukit  hijau turut menemani kesendirianku. Keramahan penduduk mendorong  sesekali melempar senyum,  senyuman termanis sebagai  ungkapan hati yang sedang riang gembira. Tidak ketinggalan   mendokumentasikan beberapa lahan yang sudah mengembangkan sayur sawi putih, buncis, kacang panjang dan bayam.  Seorang ibu yang sedang bekerja di sawah menyapaku dengan ramah “Mau kemana nak?” Aku memperhatikan wanita setegah baya itu, guratan  kasar  di wajahnya seakan menceritakan beban yang telah dipikul bertahun-tahun. “Mau ke Desa Ndehes bu”. Kujawab  sambil mendekatinya “Sayur ini milik ibu?”  aku menunjuk petak sawah yang telah disulap menjadi hamparan sayur.  “Bukan nak, itu milik orang lain, dulu ibu menanam sayur, namun harga borongan  pedagang pasar yang sangat rendah membuat  ibu patah semangat dan sekarang  tidak menanam lagi”. Jawabnya miris. Aku tertegun, sebuah PR untuk pemerintah juga untuk diriku. Wanita ini telah mewakili jeritan puluhan atau ratusan petani lain yang ingin meningkatkan  perekonomian  namun gagal akibat harga jual tidak sebanding dengan tenaga dan materi yang telah dikuras. 

Setelah pamit pada wanita itu aku melanjutkan perjalanan. Ternyata jalan Kenda – Poco tidak sebagus Ruteng – Kenda, bahkan pada beberapa tempat terdapat kerusakan yang cukup parah, aku memacu kendaraan  dengan sangat hati-hati.  Hampir saja tak sanggup melanjutkan perjalanan ketika melewati ruas jalan yang sedang diperaiki. Tanah hasil kerukan dibuang begitu saja di tengan badan jalan, akibat guyuran   hujan    jalan menjadi sangat becek,  tak ada tempat yang luput dari kubangan lumpur. Aku menghentikan motor   sambil menyaksikan pemandangan yang tidak menyenangkan itu, hampir saja seorang pemuda terpeleset bersama
motornya. “Ibu hendak kemana?” tiba-tiba sebuah suara mengejutkan  aku yang sedang ngelamun. “Ke desa Ndehes”. Jawabku singkat. “Wah.. lebih baik ibu balik saja, jalannya sangat licin”. Aku semakin ragu untuk terus maju, kalau balik berarti sia-sia perjalananku yang panjang dan memakan waktu cukup lama, sementara  cabang Poco tinggal 1 km lagi. “Tidak, saya akan melewati jalan ini”. Keberanian itu muncul begitu saja, semangat yang hampir pudar terpacu kembali. “Kalau begitu ibu hati-hati karena jalan ini sangat sepi, saya khawatir bila  ada masalah saat melewati jalan berlumpur ini, tidak ada yang bisa menolong ibu”. Lalu pemuda itu melanjutkan perjalannya ke Kenda, aku memperhatikannya sampai hilang dari pandangan “pemuda yang ramah” bhatiku.

Aku  terpaku cukup lama sambil  memandang jalan berlumpur itu, sangat sepi hanya ada sebuah rumah di tikungan namun tak  nampak penghuninya, juga tak satu pun kendaraan yang melintas.  Rasa  cemas terus mengusik. “Aku harus  mampu melewati jalan ini” bisik hatiku. Perlahan kupacu motor sambil mencari jalan mulus yang masih tersisa.  Sepatu ketsku mulai berlumpur ketika kaki harus  turut menopang sepeda motor yang miring akibat hilang keseimbangan.   Beberapa kali hampir terpeleset, kelincahanku benar-benar diuji. Keringat dingin keluar dengan sangat deras akibat stres dan kecemasan yang luar biasa.  Peluh di tubuh seperti saat berjalan kaki mengelilingi pulau mules di siang bolong, baju kaos basah kuyup. Aku terus berdoa “Ya Tuhan....  tuntunlah aku... jangan biarkan  aku jatuh dalam kubangan lumpur”.  

Ketika sampai di ujung jalan yang tidak berlumpur,  kuparkir motor lalu turun untuk beristirahat sejenak dan  memotret jalan yang baru saja kulewati. Nampak dari jauh seorang pemuda berjuang menaklukkan jalan yang sama, aku terus memperhatikannya, beberapa kali hampir terpeleset. Setelah tiba dia bertanya sambil memperhatikan motor dan sepatuku yang kotor penuh lumpur,  “apakah ibu juga telah melewati jalan ini?”  aku tersenyum, “yah.. baru saja”, jawabku.  “wah... luar biasa..   ibu satu-satunya wanita yang berani melewati jalan buruk ini.” Mendengar komentarnya senyumku semakin lebar.

Akhirnya perjuanganku  berhasil, hanya beberapa ratus meter saja sampai di pertigaan Poco. Lega rasanya ketika melewati jalan Poco yang sangat mulus. Namun sepatu dan sepeda motorku masih kotor,  sedikit risih saat berpapasan dengan kendaraan  lain yang bersih dan keren.   

Hiruk pikuk di depan kantor Desa Ndehes mengurungkan niat untuk bertemu kelompok tani. Halaman kantor desa dan jalan raya dipenuhi masyarakat dan kendaraan bermotor, sepanjang jalan berjejer pedagang keliling menjajakan barang dagangan. Jalan menjadi macet akibat sebagian badan jalan digunakan untuk berdagang. Aku penasaran dan bertanya pada salah seorang bapak  “apa yang sedang terjadi di tempat ini pak?”.  Saking ramai dan bising akhirnya aku harus bertanya berkali-kali  “hari ini masyarakat menerima BLT  bu,”  namun belum hilang rasa penasaran dan aku  bertanya lagi  “mengapa banyak sekali  pedagang di sini ?”.  Bapak itu tersenyum  lalu menjawab dengan malu-malu  “Biasa bu, selesai terima uang langsung belanja”.   Aku hanya  geleng-geleng kepala, “semoga uang yang baru diterima tidak disalahgunakan”, bisik hatiku.  

Pemandangan yang sangat unik itu tidak kulewatkan. Kembali  kukeluarkan kamera dari saku ransel lalu   mengarahkan bidikan ke beberapa sudut keramaian yang kuanggap menarik  sebagai oleh-oleh yang akan kubawa pulang. 

Dari hutan ke kebun petani, pekerjaanku sangat keren, penuh petualangan sekaligus pengabdian.  Ingin kudatangi lagi kebun-kebun yang belum kukunjungi sambil menikmati keindahan alam dan keramahan para petani. 

You Might Also Like

0 comments

stats

Flickr Images