Lil Dolphin: Up Close & Personal (Part 1)
July 29, 2009
sepatu orthopadi
orthoshoping.com
sepatu untuk koreksi kaki pengkor/ bengkok pada balita
Ads orthoshop
sepatu orthopadi
orthoshoping.com
sepatu untuk koreksi kaki pengkor/ bengkok pada balita
Ads orthoshop
sepatu orthopadi
orthoshoping.com
sepatu untuk koreksi kaki pengkor/ bengkok pada balita
Ads orthoshop
Beneran siap baca postingan ini? It'll be taking your precious time ya karena Narcisus memang sudah jadi demam abadi mengalahkan H1N1. Silakan, silakan ... jangan sungkan-sungkan.
Nama
Lumba-lumba Kecil bernama lengkap Detti Febrina. Waktu SD, ortu sering menuliskan Detti Febrina Arpan di buku tulis sekolah. Mungkin biar sadar puak, ngerti pentingnya silsilah. Mungkin.
Beberapa kali salah panggil - atau salah tulis - antara lain Dita, Desti, Denti, Debi, Desi, & so on ... buat saya tidak terlalu masalah. Asal bukan panggilan buruk, asal bukan "Mas Joko!"
Beranjak SMP, sahabat saya Dhina Anggraini - satu sekolah, sebelahan rumah, suka yang wah2 (apa sih?) - kemudian menyematkan Pw di ujung nama saya, kependekan dari Penitiwati. Saya lupa alasannya.
Nah, sahabat SMA saya Iin - bareng di PMR, MPK, naek gunung (dia anak PA, saya nebeng ajah) lalu bersama Tri trio kwek-kwek sama-sama insyaf dan gabung di ROHIS - kasih julukan "Al-Ghazali" alias Si Pemintal. Ghazali sebetulnya nama keluarga Iin. Saya dan Iin - bagaimanapun keadaanmu In ... - sudah layaknya saudara. Maka pernah pula ada surat yang 'nyasar' ke kampus ditujukan ke Detti Febrina Al-Ghazali. Al-Ghazali, dengan berbagai derivat, kemudian jadi alias.
Trus .. trus .. ID "lumba-lumba" muncul di tengah pelatihan kepemimpinan Bos Ade (gimana atuh bos? Itu LLC prospek loh diterusin ...). Lumba-lumba merupakan hasil kontemplasi. Penjelasannya baca di sini. Maka, saya kadang-kadang pakai nama pena Del Phinida Ghazali. Begitchu ...
***
Keluarga
Soehaemi Arpan, ayah saya, meninggal di RS Persahabatan Jakarta Timur, pada tahun 2001 karena kanker getah bening. Beliau pensiunan jaksa. Soal berapa kali pindah rumah, ayah - pun ibu tentunya - sudah melebihi kucing. Solo, Wonogiri, Sleman, Jogja, Ambon, Lampung, Aceh, Demak, Manado, Lampung (lagi), begitu rutenya hingga pensiun di Padang.
Maka tak heran, saya dan kedua kakak jadi budak Bengkuluw (jemaw Manna, ada turunan Chinese dan Inggris sedikit, kebenarannya silakan tanya ibu saya) yang ditakdirkan lahir di tanah Jawa. Mas Opan - Roespansyah Arpan - dan Mas Anto - Dwianto Heineman - lahir di Wonogiri, sedangkan saya di Puskesmas Karangwaru Jogja.
Ibunda Sovi Rustam, kini nenek tujuh cucu, tapi banyak orang bilang dengan saya seperti adik kakak. Awet muda karena mungkin sejak dulu hingga usia senjanya aktif sangat: Aktivis BKOW, organisasi ibu-ibu Kejaksaan, serta aktivis mall, arisan dan kondangan ...
Lumba-lumba kecil sendiri lahir tepat peringatan Hari Pers Nasional 9 Februari 1977 (gpp boleh pada tahu kok kalo saya mulai sepuh). Cerita ibu, sebelum mengandung saya, ibu sempat keguguran. Janinnya laki-laki. Di kemudian hari waktu saya SMP, ibu keguguran lagi. Maka, ya ... saya bontot yang dikawal dua abang jagoan.
Pun, fakta sebagai bungsu satu-satunya perempuan rasanya tak membuat saya dilimpahi kemanjaan berlebih. Jadi, being spoiled? Exactly no. Tapi protektif, itu pasti.
Di usia saya ke3, kami sekeluarga terbang ke Ambon dan menetap di tanah Maluku selama lima tahun. TK, kemudian SD Xaverius jadi pilihan ayah ibu karena alasan simpel: dekat rumah. Plus alasan kualitas. Hm .. hm ..
Setelah merasa nyaman dan fasih nericis ngomong Ambon, saya sempat gamang waktu harus pindah ke Bandar Lampung. Dari Ambon manise naik Kapal Rinjani perjalanan lima hari hingga Tanjung Priok, unforgettable ...
Sampai di Lampung - naik kelas 3 SD - sempat celingak celinguk dengar orang ngomong elu-guwa. Tapi lebih celingukan lagi waktu dengar "geh", "tah", "lu orang", "kita orang" - looks like I'm not the only one, huh?
SD Xaverius 24 Pahoman Bandar Lampung jadi estafet berikutnya, 'berkat' rekomendasi SD Xaverius Ambon. Saya - ketika itu - bukan termasuk anak yang cepat beradaptasi. Akhirnya kecanggungan anak baru dari "kampung" tak terelakkan.
Tapi Allah SWT punya takdir lain. Kelas 3 SD diadakan test IQ. Hasilnya IQ saya 141 - golongan sangat cerdas (itu kelas 3 SD, tak tahulah sudah tua bangka begini ...). Dengan IQ segitu, sekolah punya kebijakan saya boleh loncat dari kelas 4 langsung ke kelas 6. Percaya diri saya pun tumbuh. Ternyata Si Bolang ini pinter juga ...
Sekalipun ayah harus jadi peladang berpindah (PNS ~ peladang negeri sipil), tapi kami anak-anaknya setia di Lampung sai wawai. Lulus SD, saya bilang ke ayah kepingin masuk sekolah negeri saja. Masuklah saya ke SMPN 2 Tanjungkarang. Lanjut jut ... ke SMAN 2 Tanjungkarang. Those are amazing moment ...
Ta sudahi dulu, OK. Bidadariku yang nomor dua sepertinya lagi show of force. Ummi, pay attention please ...
Next episode: Senarai masa muda ... ah, betapa penuh warna ... (Lil Dolphin: Up Close & Personal (Part 2))
Nama
Lumba-lumba Kecil bernama lengkap Detti Febrina. Waktu SD, ortu sering menuliskan Detti Febrina Arpan di buku tulis sekolah. Mungkin biar sadar puak, ngerti pentingnya silsilah. Mungkin.
Beberapa kali salah panggil - atau salah tulis - antara lain Dita, Desti, Denti, Debi, Desi, & so on ... buat saya tidak terlalu masalah. Asal bukan panggilan buruk, asal bukan "Mas Joko!"
Beranjak SMP, sahabat saya Dhina Anggraini - satu sekolah, sebelahan rumah, suka yang wah2 (apa sih?) - kemudian menyematkan Pw di ujung nama saya, kependekan dari Penitiwati. Saya lupa alasannya.
Nah, sahabat SMA saya Iin - bareng di PMR, MPK, naek gunung (dia anak PA, saya nebeng ajah) lalu bersama Tri trio kwek-kwek sama-sama insyaf dan gabung di ROHIS - kasih julukan "Al-Ghazali" alias Si Pemintal. Ghazali sebetulnya nama keluarga Iin. Saya dan Iin - bagaimanapun keadaanmu In ... - sudah layaknya saudara. Maka pernah pula ada surat yang 'nyasar' ke kampus ditujukan ke Detti Febrina Al-Ghazali. Al-Ghazali, dengan berbagai derivat, kemudian jadi alias.
Trus .. trus .. ID "lumba-lumba" muncul di tengah pelatihan kepemimpinan Bos Ade (gimana atuh bos? Itu LLC prospek loh diterusin ...). Lumba-lumba merupakan hasil kontemplasi. Penjelasannya baca di sini. Maka, saya kadang-kadang pakai nama pena Del Phinida Ghazali. Begitchu ...
***
Keluarga
Soehaemi Arpan, ayah saya, meninggal di RS Persahabatan Jakarta Timur, pada tahun 2001 karena kanker getah bening. Beliau pensiunan jaksa. Soal berapa kali pindah rumah, ayah - pun ibu tentunya - sudah melebihi kucing. Solo, Wonogiri, Sleman, Jogja, Ambon, Lampung, Aceh, Demak, Manado, Lampung (lagi), begitu rutenya hingga pensiun di Padang.
Maka tak heran, saya dan kedua kakak jadi budak Bengkuluw (jemaw Manna, ada turunan Chinese dan Inggris sedikit, kebenarannya silakan tanya ibu saya) yang ditakdirkan lahir di tanah Jawa. Mas Opan - Roespansyah Arpan - dan Mas Anto - Dwianto Heineman - lahir di Wonogiri, sedangkan saya di Puskesmas Karangwaru Jogja.
Ibunda Sovi Rustam, kini nenek tujuh cucu, tapi banyak orang bilang dengan saya seperti adik kakak. Awet muda karena mungkin sejak dulu hingga usia senjanya aktif sangat: Aktivis BKOW, organisasi ibu-ibu Kejaksaan, serta aktivis mall, arisan dan kondangan ...
Lumba-lumba kecil sendiri lahir tepat peringatan Hari Pers Nasional 9 Februari 1977 (gpp boleh pada tahu kok kalo saya mulai sepuh). Cerita ibu, sebelum mengandung saya, ibu sempat keguguran. Janinnya laki-laki. Di kemudian hari waktu saya SMP, ibu keguguran lagi. Maka, ya ... saya bontot yang dikawal dua abang jagoan.
Pun, fakta sebagai bungsu satu-satunya perempuan rasanya tak membuat saya dilimpahi kemanjaan berlebih. Jadi, being spoiled? Exactly no. Tapi protektif, itu pasti.
Di ... lanjut!
Di usia saya ke3, kami sekeluarga terbang ke Ambon dan menetap di tanah Maluku selama lima tahun. TK, kemudian SD Xaverius jadi pilihan ayah ibu karena alasan simpel: dekat rumah. Plus alasan kualitas. Hm .. hm ..
Setelah merasa nyaman dan fasih nericis ngomong Ambon, saya sempat gamang waktu harus pindah ke Bandar Lampung. Dari Ambon manise naik Kapal Rinjani perjalanan lima hari hingga Tanjung Priok, unforgettable ...
Sampai di Lampung - naik kelas 3 SD - sempat celingak celinguk dengar orang ngomong elu-guwa. Tapi lebih celingukan lagi waktu dengar "geh", "tah", "lu orang", "kita orang" - looks like I'm not the only one, huh?
SD Xaverius 24 Pahoman Bandar Lampung jadi estafet berikutnya, 'berkat' rekomendasi SD Xaverius Ambon. Saya - ketika itu - bukan termasuk anak yang cepat beradaptasi. Akhirnya kecanggungan anak baru dari "kampung" tak terelakkan.
Tapi Allah SWT punya takdir lain. Kelas 3 SD diadakan test IQ. Hasilnya IQ saya 141 - golongan sangat cerdas (itu kelas 3 SD, tak tahulah sudah tua bangka begini ...). Dengan IQ segitu, sekolah punya kebijakan saya boleh loncat dari kelas 4 langsung ke kelas 6. Percaya diri saya pun tumbuh. Ternyata Si Bolang ini pinter juga ...
Sekalipun ayah harus jadi peladang berpindah (PNS ~ peladang negeri sipil), tapi kami anak-anaknya setia di Lampung sai wawai. Lulus SD, saya bilang ke ayah kepingin masuk sekolah negeri saja. Masuklah saya ke SMPN 2 Tanjungkarang. Lanjut jut ... ke SMAN 2 Tanjungkarang. Those are amazing moment ...
Ta sudahi dulu, OK. Bidadariku yang nomor dua sepertinya lagi show of force. Ummi, pay attention please ...
Next episode: Senarai masa muda ... ah, betapa penuh warna ... (Lil Dolphin: Up Close & Personal (Part 2))
0 comments