Menyederhanakan
November 06, 2009
sepatu orthopadi
orthoshoping.com
sepatu untuk koreksi kaki pengkor/ bengkok pada balita
Ads orthoshop
sepatu orthopadi
orthoshoping.com
sepatu untuk koreksi kaki pengkor/ bengkok pada balita
Ads orthoshop
sepatu orthopadi
orthoshoping.com
sepatu untuk koreksi kaki pengkor/ bengkok pada balita
Ads orthoshop
Farid Gaban, dengan segala kredibilitasnya, sekali lagi bisa memberikan sudut pandang berbeda dalam isu yang segemuruh kasus KPK, Century, Bibit-Chandra. Berikut saya salin dari milis jurnalisme Selasa (2/11/09).
Kuroda,
Terima kasih telah mengirim posting di bawah ini, berkaitan dengan keganjilan polisi dalam kasus penahanan Bibit-Chandra.
http://nusantaranews.wordpress.com/2009/10/31/fakta-fakta-kemunafikan-polri-dala\
m-mengasuskan-bibit-dan-chandra/
Ini artikel yang sederhana, lugas dan informatif. Saya tidak tahu persis siapa penulisnya. Tapi, nampaknya bukan wartawan atau setidaknya bukan wartawan yang bekerja di media mainstream.
Jika benar begitu, kita, khususnya para wartawan, selayaknya malu kepada penulis tersebut. Rasa malu itu perlu ditebus dengan memperbanyak tulisan model begini: sederhana, lugas, informatif.
Apa pentingnya?
Beberapa hari ini saya bertemu dengan orang-orang (yang cukup berpendidikan) tapi tidak tahu benar apa yang sebenarnya terjadi.
Saya, misalnya, bertemu dengan seorang karyawan JP Morgan, lembaga keuangan internasional, yang bertanya-tanya mengapa kasus ini menjadi besar. Dia juga tidak paham Skandal Bank Century, serta apa kaitannya dengan kisruh KPK ini.
Saya juga kaget ketika istri saya, seorang dokter, bertanya tentang Century. Dia sama sekali gelap tentang yayasan yang disebut dalam artikel ini, dan soal dana kampanye para kandidat presiden, sebenarnya punya kaitan dengan kasus KPK ini.
Lebih banyak lagi orang, saya kira, yang cukup berpendidikan seperti teman dan istri saya itu, tapi tidak benar-benar paham. Bahkan termasuk mereka yang marah kepada Presiden Yudhoyono dalam kasus ini.
Orang-orang ini mungkin terlalu sibuk, sehingga tidak cukup waktu untuk menyelami masalah atau mengikuti berita. Tapi, di sisi lain, kita para wartawan mungkin perlu introspeksi: berita yang disajikan koran/majalah/televisi memang lebih cenderung MEMBINGUNGKAN KETIMBANG MENJELASKAN.
Ada setidaknya dua kemungkinan:
1. Karena wartawan hanya menyajikan berita permukaan, sekadar sensasional, tapi tidak menukik ke dasar persoalan. Alasan lain: wartawan dan redakturnya sendiri tidak mengerti persoalan, atau terjatuh dalam trivialisme (pada hal yang remeh-temeh) dan sesasi belaka, sumber utama dari rating televisi.
2. Rendahnya ketrampilan di kalangan wartawan untuk bisa menyajikan berita yang rumit secara sederhana dan informatif.
Dua kemungkinan itu mewakili kelemahan jurnalisme (jika tidak bisa disebut DOSA jurnalisme).
Demokrasi, dan kedaulatan rakyat, yang berkualitas menuntut adanya publik yang memperoleh informasi berkualitas namun sekaligus mudah dicerna. Mendalam, substansial, tapi renyah.
Ini makin penting dalam era ketika informasi justru demikian mudah didapat (koran, televisi, onlinem facebook). Informasi tak berkualitas hanya akan menjadi "noise", bunyi-bunyian tanpa makna, yang justru mengaburkan informasi berkualitas.
Ini juga penting pada era ketika orang makin sedikit punya waktu untuk membaca dan menyimak berita.
Jika publik tidak paham suatu persoalan yang penting (seperti Skandal Bank Century dan skandal dana kampanye para presiden), dosa terbesar terletak pada media. Koran/televisi sebetulnya belum menunaikan tugasnya dengan baik.
Tak hanya media. Dosa juga terletak pada kalangan ilmuwan, dalam hal ini ekonom, yang gagal membuat penjelasan sederhana. Mereka bicara dengan bahsa asing, istilah teknis, terlalu banyak jargon, bahasa berbelit-belit dan terlalu abstrak.
Skandal subsidi dana publik senilai Rp 600-700 trilyun ke dalam perbankan pada 1998-99, yang kini kita kenal sebagai BLBI dan obligasi rekap, rupanya belum menjadi pelajaran. Banyak orang, bahkan yang berpendidikan, saya kira tidak pernah paham apa yang sebenarnya terjadi dan apa konsekuensinya bagi negeri ini, terutama rakyat miskin negeri ini.
Mudah-mudahan kali ini kita bisa belajar.
salam,
fgaban
***
Mantap tenan. Gaji kecil, tapi harus kerja profesional. Oh jurnalis dambaan, dimana bisa kutemukan?
Kuroda,
Terima kasih telah mengirim posting di bawah ini, berkaitan dengan keganjilan polisi dalam kasus penahanan Bibit-Chandra.
http://nusantaranews.wordpress.com/2009/10/31/fakta-fakta-kemunafikan-polri-dala\
m-mengasuskan-bibit-dan-chandra/
Ini artikel yang sederhana, lugas dan informatif. Saya tidak tahu persis siapa penulisnya. Tapi, nampaknya bukan wartawan atau setidaknya bukan wartawan yang bekerja di media mainstream.
Jika benar begitu, kita, khususnya para wartawan, selayaknya malu kepada penulis tersebut. Rasa malu itu perlu ditebus dengan memperbanyak tulisan model begini: sederhana, lugas, informatif.
Apa pentingnya?
Beberapa hari ini saya bertemu dengan orang-orang (yang cukup berpendidikan) tapi tidak tahu benar apa yang sebenarnya terjadi.
Saya, misalnya, bertemu dengan seorang karyawan JP Morgan, lembaga keuangan internasional, yang bertanya-tanya mengapa kasus ini menjadi besar. Dia juga tidak paham Skandal Bank Century, serta apa kaitannya dengan kisruh KPK ini.
Saya juga kaget ketika istri saya, seorang dokter, bertanya tentang Century. Dia sama sekali gelap tentang yayasan yang disebut dalam artikel ini, dan soal dana kampanye para kandidat presiden, sebenarnya punya kaitan dengan kasus KPK ini.
Lebih banyak lagi orang, saya kira, yang cukup berpendidikan seperti teman dan istri saya itu, tapi tidak benar-benar paham. Bahkan termasuk mereka yang marah kepada Presiden Yudhoyono dalam kasus ini.
Orang-orang ini mungkin terlalu sibuk, sehingga tidak cukup waktu untuk menyelami masalah atau mengikuti berita. Tapi, di sisi lain, kita para wartawan mungkin perlu introspeksi: berita yang disajikan koran/majalah/televisi memang lebih cenderung MEMBINGUNGKAN KETIMBANG MENJELASKAN.
Ada setidaknya dua kemungkinan:
1. Karena wartawan hanya menyajikan berita permukaan, sekadar sensasional, tapi tidak menukik ke dasar persoalan. Alasan lain: wartawan dan redakturnya sendiri tidak mengerti persoalan, atau terjatuh dalam trivialisme (pada hal yang remeh-temeh) dan sesasi belaka, sumber utama dari rating televisi.
2. Rendahnya ketrampilan di kalangan wartawan untuk bisa menyajikan berita yang rumit secara sederhana dan informatif.
Dua kemungkinan itu mewakili kelemahan jurnalisme (jika tidak bisa disebut DOSA jurnalisme).
Demokrasi, dan kedaulatan rakyat, yang berkualitas menuntut adanya publik yang memperoleh informasi berkualitas namun sekaligus mudah dicerna. Mendalam, substansial, tapi renyah.
Ini makin penting dalam era ketika informasi justru demikian mudah didapat (koran, televisi, onlinem facebook). Informasi tak berkualitas hanya akan menjadi "noise", bunyi-bunyian tanpa makna, yang justru mengaburkan informasi berkualitas.
Ini juga penting pada era ketika orang makin sedikit punya waktu untuk membaca dan menyimak berita.
Jika publik tidak paham suatu persoalan yang penting (seperti Skandal Bank Century dan skandal dana kampanye para presiden), dosa terbesar terletak pada media. Koran/televisi sebetulnya belum menunaikan tugasnya dengan baik.
Tak hanya media. Dosa juga terletak pada kalangan ilmuwan, dalam hal ini ekonom, yang gagal membuat penjelasan sederhana. Mereka bicara dengan bahsa asing, istilah teknis, terlalu banyak jargon, bahasa berbelit-belit dan terlalu abstrak.
Skandal subsidi dana publik senilai Rp 600-700 trilyun ke dalam perbankan pada 1998-99, yang kini kita kenal sebagai BLBI dan obligasi rekap, rupanya belum menjadi pelajaran. Banyak orang, bahkan yang berpendidikan, saya kira tidak pernah paham apa yang sebenarnya terjadi dan apa konsekuensinya bagi negeri ini, terutama rakyat miskin negeri ini.
Mudah-mudahan kali ini kita bisa belajar.
salam,
fgaban
***
Mantap tenan. Gaji kecil, tapi harus kerja profesional. Oh jurnalis dambaan, dimana bisa kutemukan?
0 comments