Idul Adha setahun yang lalu, beberapa jam setelah melahirkan Syahid, kurang lebih jam segini - hampir setengah dua belas malam - seseorang menelpon ke nomor CDMA saya. Nomor tak dikenal. Dan jam setengah dua belas malam setelah melahirkan, rasa-rasanya tak ada lain yang ingin dilakukan selain: tiduur ... Sempat berpikir, kalau orang ini mau bertahniah, mengucapkan selamat, kok ya tega banget ...
Beberapa kali nada panggil hingga mati sendiri, tak urung telepon itu saya angkat juga. Khawatir ada berita penting. Siapa nyana, suara di ujung sana berbisik begini:
"Tante ... lagi kesepian niy ..."
Suaranya kemayu, khas cara bicara seorang transgender (tiada maksud labelling, tapi saya tak jumpa padanan yang lebih halus).
Sempat tertegun. Hati bolak balik menyuruh antara "matikan saja!" ataukah "biarkan saja. Dengarkan dulu dia bicara...". Ini sungguh situasi yang aneh, tapi pada akhirnya saya ambil pilihan yang terakhir.
"Tante, saya lagi nggak ada yang nemenin, niy ..."
Saya tak ingat detail obrolan itu. Tapi saya ingat hanya merespon dengan lebih banyak bertanya: Siapa namanya? Darimana tahu nomor telepon saya? (yang kemudian dia jawab, dia menelepon/memencet nomor sekenanya saja, memanfaatkan fasilitas gratis karena provider CDMA yang sama. Masya Allah ... hopeless sekali anak itu ...).
Tak sekalipun saya sergah jawabannya dengan mengatakan bahwa "tante" yang diteleponnya ini sedang terbaring di klinik bidan karena baru beberapa jam lalu melahirkan.
Obrolan itupun tak panjang. Intinya, dia sedang butuh uang. Dia bekerja di Salon X (namanya dia sebutkan, dan saya pernah wawancara pemilik salon - seorang transgender juga - waktu dulu meliput kontes Miss Waria. Mungkin juga anak ini mendapat nomor telepon saya dari situ). Dia bersedia 'menemani' tante-tante kesepian - maupun om-om kesepian (duh!) - tentu dengan imbalan, tergantung suara siapa yang dia dengar di ujung telepon.
Sungguh, saya jadi jatuh kasihan pada anak itu.
Tapi sayang - hingga kinipun masih saya sesali - saya kurang sabar. Capek meladeni obrolan yang masih berputar-putar pada "minta ditemani" itu, akhirnya obrolan saya tutup dengan, "Dik, maafkan saya, tapi tolong 'cari korban' lain saja ya ...". Lalu ponsel saya matikan.
Kalimat penutup yang tidak bijak, saya tahu.
[inilah mengapa postingan ini saya masukkan dalam label dakwah ... Karena seharusnya saya bisa lebih mendengarkan. Sekaligus kenangan Hari AIDS bersama para transgender di gedung PKK ...]
Beberapa kali nada panggil hingga mati sendiri, tak urung telepon itu saya angkat juga. Khawatir ada berita penting. Siapa nyana, suara di ujung sana berbisik begini:
"Tante ... lagi kesepian niy ..."
Suaranya kemayu, khas cara bicara seorang transgender (tiada maksud labelling, tapi saya tak jumpa padanan yang lebih halus).
Sempat tertegun. Hati bolak balik menyuruh antara "matikan saja!" ataukah "biarkan saja. Dengarkan dulu dia bicara...". Ini sungguh situasi yang aneh, tapi pada akhirnya saya ambil pilihan yang terakhir.
"Tante, saya lagi nggak ada yang nemenin, niy ..."
Saya tak ingat detail obrolan itu. Tapi saya ingat hanya merespon dengan lebih banyak bertanya: Siapa namanya? Darimana tahu nomor telepon saya? (yang kemudian dia jawab, dia menelepon/memencet nomor sekenanya saja, memanfaatkan fasilitas gratis karena provider CDMA yang sama. Masya Allah ... hopeless sekali anak itu ...).
Tak sekalipun saya sergah jawabannya dengan mengatakan bahwa "tante" yang diteleponnya ini sedang terbaring di klinik bidan karena baru beberapa jam lalu melahirkan.
Obrolan itupun tak panjang. Intinya, dia sedang butuh uang. Dia bekerja di Salon X (namanya dia sebutkan, dan saya pernah wawancara pemilik salon - seorang transgender juga - waktu dulu meliput kontes Miss Waria. Mungkin juga anak ini mendapat nomor telepon saya dari situ). Dia bersedia 'menemani' tante-tante kesepian - maupun om-om kesepian (duh!) - tentu dengan imbalan, tergantung suara siapa yang dia dengar di ujung telepon.
Sungguh, saya jadi jatuh kasihan pada anak itu.
Tapi sayang - hingga kinipun masih saya sesali - saya kurang sabar. Capek meladeni obrolan yang masih berputar-putar pada "minta ditemani" itu, akhirnya obrolan saya tutup dengan, "Dik, maafkan saya, tapi tolong 'cari korban' lain saja ya ...". Lalu ponsel saya matikan.
Kalimat penutup yang tidak bijak, saya tahu.
[inilah mengapa postingan ini saya masukkan dalam label dakwah ... Karena seharusnya saya bisa lebih mendengarkan. Sekaligus kenangan Hari AIDS bersama para transgender di gedung PKK ...]