Chapter 3
Blessing in Disguise
Lutfi H. Ishak bersama Ikranagara, salah satu aktor "Sang Pencerah" |
Idea lamp yang berpendaran di otak saat nonton "Sang Pencerah" adalah 'Mr. AJ, anggota fraksi, DPTW dan yang lain-lain harus nonton. Tak sekedar nonton, tapi nobar.'
Idea lamp makin terang bersinar ketika keluar statemen presiden partai, Ust LHI, usai beliau nonton di XXI (mungkin ada yang belum tahu, XXI – ex ex one - adalah bioskop yang sedikit lebih sophisticated dibanding 21 – twenty one. Di Lampung belum ada). Begini statemennya dikutip detik.com, "Kader-kader PKS di seluruh tanah air saya instruksikan untuk menonton film ini.” (cek berita sahihnya di sini).
Nah.
***
Tak lama kemudian, esensi, urgensi, serta hitungan 'kwitansi' ide ini segera di-forward ke beberapa bapak yang perlu jadi calon audiens nobar. Ada yang antusias, ada yang keep cool: Kita tetap dengan kegiatan yang sudah disetujui SC (alias: udah deh lo. ga usah cem-macem napa? hehe ...); ada juga yang minta diperjelas dulu teknisnya.
Nema problema.
Walau tak yakin nobar bakal dieksekusi, seraya mengerjakan amanah humas yang lain, kami cari informasi soal bioskop yang menayangkan, harga tiket, kemungkinan diskon bila full book, dst. Nadhil banyak ambil peran di sini.
Namun karena tak ada tanda-tanda bakal bersambut, nobar tak lagi disebut-sebut hingga usainya pra-muswil "tanam pohon" yang kenyataannya sulit 'diangkat' itu.
Ngobrol dengan seorang reporter yang sudah berbilang tahun tak pindah-pindah dari desk politik, ia ceritakan kesulitan wartawan desk politik di koran manapun mengangkat isu muswil PKS. Bahwa pada saat yang sama, ia tak menemui kesulitan meliput dua parpol lain yang juga menyelenggarakan muswil/musda.
Untuk Parpol A, ia katakan selalu ada isu yang bisa diangkat karena konflik internal dan timetable muswil yang selalu diulur-ulur. Negatif, tapi bukankah yang begini yang jadi makanan empuk pers.
Sedangkan jelang musda Parpol D selalu ada hot news, karena kandidat demi kandidat - yang semua mencorong namanya - layak jadi topik halaman politik. Sekretaris Parpol D - notabene mantan wartawan - juga rajin men-deliver isu ke pers.
"Nah, muswilnya PKS ini yang kita sering bingung ambil angle apa, Mbak," akunya jujur. Bahkan ia sempat kaget ketika disebut bahwa Pemilihan Umum Internal (PUI) yang merupakan proses awal pemilihan DPTW, sudah berlangsung cukup lama. "Kenapa waktu itu ga ngontak kita, Mbak? Itu kan berita," protes bapak satu anak ini.
Dalam obrolan itu, panjang sudah kami uraikan. Soal runtutan mekanisme naiknya pemimpin baru ke tampuk DPTW. Mengapa Muswil, bahkan Munas PKS, selalu nihil pergolakan.
"Dengan mekanisme begini, di PKS nama menjadi tidak penting. Dalam arti, siapapun yang akan jadi pemimpin wilayah, kader akan menerima dengan baik." Padahal, sebagaimana diamini Wakos, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Lampung sekaligus wartawan desk politik Tribun Lampung, "nama" adalah jualan media.
"Ga ada nama, ya ga ada berita, Mbak," jelasnya.
Sekali lagi, begitulah logika media. Mekanisme yang indah, yang tak dijumpai di parpol lain, tanpa konflik, tanpa kerusuhan. Pemilihan pemimpin yang menegakkan sistem, bukan one man show, bukanlah yang 'dikehendaki' media. Sekalipun teman-teman pers itu mengakui keunggulan mekanisme ini. Mengakui ketidakbiasaannya.
Ada pula satu antithesa lain yang mafhum di kalangan pers, namun tentu tak kita harapkan terjadi di jamaah pemburu surga ini. Menarik media nasional dengan magnet kehadiran Sekjen Anis Matta, faktanya tak cukup jadi alasan mereka untuk mendekat.
"Ada kerusuhan dulu, baru kita mau liput," suara seorang kontributor media nasional.
Sarkas memang, tapi logikanya - logika nilai beritanya - sulit dibantah.
Begitulah. Parpol sudah lama menjadi produk yang digeneralisasi buruk. Setiap sisi yang baik dianggap kamuflase. Aksi simpatik bukan lagi hak prerogatif partai yang insya Allah quwwatun nazhimah ini (takbir 3x!).
Dalam situasi seperti ini, kalkulasi public relation (PR) mengatakan bahwa presisi pemilihan angle, teknik menggelontorkan isu, bersanding dengan kultur pergantian pemimpin yang memang sudah rigid, adalah keniscayaan.
Dan kegelisahan ini rupanya bukan milik saya sendiri.
Maka nobar-pun diangkat lagi. Rencana detail disusun. Komunitas jamaah K.H. A. Dahlan harus diajak serta. Bukan kamuflase. Ini momentum silaturahmi dan memunculkan dialog dua pihak bersaudara.
***
Tak lama kemudian, esensi, urgensi, serta hitungan 'kwitansi' ide ini segera di-forward ke beberapa bapak yang perlu jadi calon audiens nobar. Ada yang antusias, ada yang keep cool: Kita tetap dengan kegiatan yang sudah disetujui SC (alias: udah deh lo. ga usah cem-macem napa? hehe ...); ada juga yang minta diperjelas dulu teknisnya.
Nema problema.
Walau tak yakin nobar bakal dieksekusi, seraya mengerjakan amanah humas yang lain, kami cari informasi soal bioskop yang menayangkan, harga tiket, kemungkinan diskon bila full book, dst. Nadhil banyak ambil peran di sini.
Namun karena tak ada tanda-tanda bakal bersambut, nobar tak lagi disebut-sebut hingga usainya pra-muswil "tanam pohon" yang kenyataannya sulit 'diangkat' itu.
Ngobrol dengan seorang reporter yang sudah berbilang tahun tak pindah-pindah dari desk politik, ia ceritakan kesulitan wartawan desk politik di koran manapun mengangkat isu muswil PKS. Bahwa pada saat yang sama, ia tak menemui kesulitan meliput dua parpol lain yang juga menyelenggarakan muswil/musda.
Untuk Parpol A, ia katakan selalu ada isu yang bisa diangkat karena konflik internal dan timetable muswil yang selalu diulur-ulur. Negatif, tapi bukankah yang begini yang jadi makanan empuk pers.
Sedangkan jelang musda Parpol D selalu ada hot news, karena kandidat demi kandidat - yang semua mencorong namanya - layak jadi topik halaman politik. Sekretaris Parpol D - notabene mantan wartawan - juga rajin men-deliver isu ke pers.
"Nah, muswilnya PKS ini yang kita sering bingung ambil angle apa, Mbak," akunya jujur. Bahkan ia sempat kaget ketika disebut bahwa Pemilihan Umum Internal (PUI) yang merupakan proses awal pemilihan DPTW, sudah berlangsung cukup lama. "Kenapa waktu itu ga ngontak kita, Mbak? Itu kan berita," protes bapak satu anak ini.
Dalam obrolan itu, panjang sudah kami uraikan. Soal runtutan mekanisme naiknya pemimpin baru ke tampuk DPTW. Mengapa Muswil, bahkan Munas PKS, selalu nihil pergolakan.
"Dengan mekanisme begini, di PKS nama menjadi tidak penting. Dalam arti, siapapun yang akan jadi pemimpin wilayah, kader akan menerima dengan baik." Padahal, sebagaimana diamini Wakos, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Lampung sekaligus wartawan desk politik Tribun Lampung, "nama" adalah jualan media.
"Ga ada nama, ya ga ada berita, Mbak," jelasnya.
Sekali lagi, begitulah logika media. Mekanisme yang indah, yang tak dijumpai di parpol lain, tanpa konflik, tanpa kerusuhan. Pemilihan pemimpin yang menegakkan sistem, bukan one man show, bukanlah yang 'dikehendaki' media. Sekalipun teman-teman pers itu mengakui keunggulan mekanisme ini. Mengakui ketidakbiasaannya.
Ada pula satu antithesa lain yang mafhum di kalangan pers, namun tentu tak kita harapkan terjadi di jamaah pemburu surga ini. Menarik media nasional dengan magnet kehadiran Sekjen Anis Matta, faktanya tak cukup jadi alasan mereka untuk mendekat.
"Ada kerusuhan dulu, baru kita mau liput," suara seorang kontributor media nasional.
Sarkas memang, tapi logikanya - logika nilai beritanya - sulit dibantah.
Begitulah. Parpol sudah lama menjadi produk yang digeneralisasi buruk. Setiap sisi yang baik dianggap kamuflase. Aksi simpatik bukan lagi hak prerogatif partai yang insya Allah quwwatun nazhimah ini (takbir 3x!).
Dalam situasi seperti ini, kalkulasi public relation (PR) mengatakan bahwa presisi pemilihan angle, teknik menggelontorkan isu, bersanding dengan kultur pergantian pemimpin yang memang sudah rigid, adalah keniscayaan.
Dan kegelisahan ini rupanya bukan milik saya sendiri.
Maka nobar-pun diangkat lagi. Rencana detail disusun. Komunitas jamaah K.H. A. Dahlan harus diajak serta. Bukan kamuflase. Ini momentum silaturahmi dan memunculkan dialog dua pihak bersaudara.
Bahwa dia berbalut suasana posmo penuh selebrasi entertain (baca: film bioskop), itu justru menambah magnitude isunya,
Maka dari sisi nilai berita ia memenuhi hampir semua asas: kemenarikan, aktualitas, public figure, timing yang tepat. Seluruh unsur layak berita: actuality, prominent, magnitude, proximity, important, tak ada yang tak disentuhnya. Budget – maaf bila harus dibandingkan – dipastikan jauh lebih kecil daripada aksi tanam pohon.
Bungkus!
***
Di perjalanan, telpon dan sms masuk. Rencana berkembang. "Sekalian saja ada konferensi pers." Nashar (bagaimana kabar kompre antum, akhi?) sedia berjibaku mengurusi tempat dan logistik.
Malam, H-2 semua calon audiens dikontak. Sebagian pers juga sudah oke untuk hadir. Pak Akhmadi Sumaryanto yang bersemangat untuk jadi semacam liaison officer dengan pihak PW bersedia hadir besok pagi untuk silaturahmi pendahuluan.
Bungkus!
***
Di perjalanan, telpon dan sms masuk. Rencana berkembang. "Sekalian saja ada konferensi pers." Nashar (bagaimana kabar kompre antum, akhi?) sedia berjibaku mengurusi tempat dan logistik.
Malam, H-2 semua calon audiens dikontak. Sebagian pers juga sudah oke untuk hadir. Pak Akhmadi Sumaryanto yang bersemangat untuk jadi semacam liaison officer dengan pihak PW bersedia hadir besok pagi untuk silaturahmi pendahuluan.
Setelah menidurkan anak-anak, telinga ini tak bisa lepas dari speaker ponsel.
Demikianlah, tepat saat gagang telepon terangkat untuk memastikan kehadiran pihak PW selaku undangan, konfirmasi terakhir itu pun mematikan semua idea lamp yang berpendaran di otak ini.
"Pertimbangan bepeha - begini dan begitu (tak elok saya detailkan di sini) - sebaiknya nobar ditinjau-ulang." Bapak penelepon berulang-ulang menutup konfirmasi itu dengan "afwan".
Di kesempatan yang lalu-lalu, kejadian hampir serupa, sukses membuat saya limbung. Ada yang perlu bilangan hari, bahkan bulan, untuk membuat semangat kembali pulih. Namun kali ini mungkin mental sudah kapalan. Seperti petinju yang kulit tangan dan wajahnya sudah mengeras karena berulangkali kena tonjok (maupun menonjok .. haha ..).
Malam itu juga, baik kru humas, wartawan yang sudah dikontak, Pak Akhmadi serta bapak-bapak calon audiens yang sudah oke hadir, satu per satu disms. Ada juga yang ditelepon. Kami sampaikan maaf karena nobar dibatalkan, tentu dengan menata kalimat semanis mungkin.
Tak perlu merasa nggak enak, Pak. Saya sangat faham mengapa akhirnya nobar harus batal. Mungkin bagi kultur ikhwah di sini, gelombang otak saya bagai tsunami yang bisa meluluhlantakkan tatanan
Saya baik-baik saja, Kawan. Saya sudah berdiri ketika kalian satu demi satu menepuk pundak yang sedikit turun ini.
Tetaplah bersemangat melahirkan ide-ide genial ...
Demikianlah, tepat saat gagang telepon terangkat untuk memastikan kehadiran pihak PW selaku undangan, konfirmasi terakhir itu pun mematikan semua idea lamp yang berpendaran di otak ini.
"Pertimbangan bepeha - begini dan begitu (tak elok saya detailkan di sini) - sebaiknya nobar ditinjau-ulang." Bapak penelepon berulang-ulang menutup konfirmasi itu dengan "afwan".
Di kesempatan yang lalu-lalu, kejadian hampir serupa, sukses membuat saya limbung. Ada yang perlu bilangan hari, bahkan bulan, untuk membuat semangat kembali pulih. Namun kali ini mungkin mental sudah kapalan. Seperti petinju yang kulit tangan dan wajahnya sudah mengeras karena berulangkali kena tonjok (maupun menonjok .. haha ..).
Malam itu juga, baik kru humas, wartawan yang sudah dikontak, Pak Akhmadi serta bapak-bapak calon audiens yang sudah oke hadir, satu per satu disms. Ada juga yang ditelepon. Kami sampaikan maaf karena nobar dibatalkan, tentu dengan menata kalimat semanis mungkin.
Tak perlu merasa nggak enak, Pak. Saya sangat faham mengapa akhirnya nobar harus batal. Mungkin bagi kultur ikhwah di sini, gelombang otak saya bagai tsunami yang bisa meluluhlantakkan tatanan
Saya baik-baik saja, Kawan. Saya sudah berdiri ketika kalian satu demi satu menepuk pundak yang sedikit turun ini.
Tetaplah bersemangat melahirkan ide-ide genial ...
(Jazakumullah, Pak. Semangat itu masih membara. Soal genial atau tidak, very very much depend on each of you, depend on what is your point of view ... Point of view yang tentu tak bisa saya jangkau orang per orang).
Melalui beberapa sms panjang, Ketua DPW PKS - yang kini diinfakkan untuk berkhidmat di Dewan Perwakilan Daerah - Ust. Ahmad Jajuli, dari kejauhan subhanallahnya juga membaca sisa-sisa gundah saya. Padahal saya hanya mengabarkan bahwa nobar tidak jadi, karena satu dan lain pertimbangan.
Melalui beberapa sms panjang, Ketua DPW PKS - yang kini diinfakkan untuk berkhidmat di Dewan Perwakilan Daerah - Ust. Ahmad Jajuli, dari kejauhan subhanallahnya juga membaca sisa-sisa gundah saya. Padahal saya hanya mengabarkan bahwa nobar tidak jadi, karena satu dan lain pertimbangan.
Subhanallah, pekanya basyariah beliau.
Semua sms beliau kemudian saya forwardkan untuk jadi obat hati juga bagi teman-teman humas maupun panitia acara.
Berikut salah satunya (sabarlah membacanya karena memang sangat panjang, tapi melihat situasi beliau mengirimkan sms ini, kata demi kata jadi penuh makna).
14.10.2010 21:17
Kadang dalam hidup, termasuk dalam sebuah organisasi, apa yang terjadi tidak selalu sama dengan yang ideal atau yang kita pikirkan bagus. Bahkan suka ada ironi-ironi, paradoksal. Well,itu sebagai bahan bermanfaat bagi evaluasi kritis ke dalam. Tapi sialnya, kadang yang menjadi korban, berkeringat, dicemooh pihak lain, dan sejenisnya, yang ngadepi resiko, adalah pihak di lapangan. Staf teknis. Jika tidak kuat, kadang-kadang membuat sedih, frustasi, kecewa bahkan menurunkan kepercayaan. Tapi inipun pada akhirnya bagus juga. Buat pematangan pribadi, pematangan komunitas, pematangan organisasi dan para pengambil keputusan. Ada saja blessing dalam 'musibah'. Nah, jika ini terjadi, saran saya kembalikan saja kepada hakikat bekerja. Bahwa kita bekerja bukan untuk pak ini, pak itu: tapi bekerja atas dan untuk Tuhan kita. So, lapangkan dan sediakan hati untuk memberi maaf. Maafkan juga saya tidak berdaya ikuti perkembangan akhir-akhir ini.
Bagai musafir yang sedang berpuasa diberi minuman segar untuk berbuka. Sungguh menyejukkan.
Tentu saja banyak berkah (blessing) dalam situasi seperti ini. Sebongkah besar batu mulia tentang ”tak bertambah ketika dipuji-puja, tak berkurang ketika disungkurkan”. Tentang tsabat, ikhlas, dan sekali lagi tentang tajarrud.
Berikut salah satunya (sabarlah membacanya karena memang sangat panjang, tapi melihat situasi beliau mengirimkan sms ini, kata demi kata jadi penuh makna).
14.10.2010 21:17
Kadang dalam hidup, termasuk dalam sebuah organisasi, apa yang terjadi tidak selalu sama dengan yang ideal atau yang kita pikirkan bagus. Bahkan suka ada ironi-ironi, paradoksal. Well,itu sebagai bahan bermanfaat bagi evaluasi kritis ke dalam. Tapi sialnya, kadang yang menjadi korban, berkeringat, dicemooh pihak lain, dan sejenisnya, yang ngadepi resiko, adalah pihak di lapangan. Staf teknis. Jika tidak kuat, kadang-kadang membuat sedih, frustasi, kecewa bahkan menurunkan kepercayaan. Tapi inipun pada akhirnya bagus juga. Buat pematangan pribadi, pematangan komunitas, pematangan organisasi dan para pengambil keputusan. Ada saja blessing dalam 'musibah'. Nah, jika ini terjadi, saran saya kembalikan saja kepada hakikat bekerja. Bahwa kita bekerja bukan untuk pak ini, pak itu: tapi bekerja atas dan untuk Tuhan kita. So, lapangkan dan sediakan hati untuk memberi maaf. Maafkan juga saya tidak berdaya ikuti perkembangan akhir-akhir ini.
Bagai musafir yang sedang berpuasa diberi minuman segar untuk berbuka. Sungguh menyejukkan.
Tentu saja banyak berkah (blessing) dalam situasi seperti ini. Sebongkah besar batu mulia tentang ”tak bertambah ketika dipuji-puja, tak berkurang ketika disungkurkan”. Tentang tsabat, ikhlas, dan sekali lagi tentang tajarrud.