Dia bernama Ali.Ikhwan itu sama dengan laki-laki lainnya. Rutin berinteraksi dengan akhwat ayu, daiyah populer dari keluarga terpandang, dan sekalipun tarbiyah bukan hanya sepekan sekali menerpa, namun dia masih manusia ... Perasaan itupun muncul tanpa diminta.
Namun ia tahu posisi dirinya. Ia tahu mana batasnya. Cinta platonisnya disimpan rapat-rapat. Jangankan untuk 'nembak si akhwat, apalagi mengetikkan status di wall FB, untuk mengekspresikanpun ia bertahan. Bertahan. Tak sesiapapun tahu gelisah hatinya.
Menjaga kemuliaan diri ... dan juga kemuliaan si akhwat.
Apalagi, mimpi memperistri sang akhwat kian memudar ketika tiba seseorang dengan segalanya: kesolihan, kekayaan, kemasyhuran dengan tujuan yang juga lama diidamkannya: mengkhitbah akhwat pujaan.
Seseorang itu punya begitu banyak keutamaan. Tak mungkin sang akhwat menolaknya. Gundahnya kian membulat.
Namun tak diduga, langit hatinya kembali cerah. Lamaran pria masyhur itu ditolak.
Waktu merambat dengan keteguhan menjaga kemuliaan diri. Namun seseorang kembali datang, justru ketika ia tengah mengumpulkan segenap alasan dan keberanian untuk hadir menjumpai orangtua si akhwat.
Pengkhitbah kali kedua ini pria gagah. Maisyah juga tak masalah. Disegani kawan maupun lawan atas kiprahnya di medan dakwah.
Ali, ikhwan yang teguh menggenggam marwah, kembali menunduk. Tak mungkin sang akhwat pujaan kali ini menolak pengkhitbah nan gagah.
Cinta tak terucap itu lagi-lagi harus dikubur dalam-dalam.
Namun berita yang sama kembali bagai petir di siang bolong. Pria kedua pun ditolak.
Skenario Allah, SWT berlaku. Ya, Allah takdirkan Ali berjodoh dengan akhwat pujaan hatinya. Mereka menikah.
***
Happy ending? Pemuda bersahaja itu menemukan jawaban doanya. Tapi cerita belum selesai sampai di sini.
Skenario Allah, SWT berlaku. Ya, Allah takdirkan Ali berjodoh dengan akhwat pujaan hatinya. Mereka menikah.
***
Happy ending? Pemuda bersahaja itu menemukan jawaban doanya. Tapi cerita belum selesai sampai di sini.
Suatu malam, istri cantik menyampaikan sebuah rahasia yang mengejutkannya. "Maafkan aku, karena sebelum menikah denganmu, aku pernah satu kali jatuh cinta pada seorang pemuda.”
Ali terkejut dan berkata, “Kalau begitu mengapa engkau mau menikah denganku? Dan siapakah pemuda itu?”
Sambil tersenyum istrinya berkata, “Ya, karena pemuda itu adalah dirimu.”
Maha Suci Allah. Cinta platonis seorang ikhwan dan seorang akhwat. Kedua cinta tak terekspresikan. Tak terkatakan. Padahal situasi dan tuntutan dakwah membuat aktivitas mereka sering bertumbukan. Peluang untuk memberi sinyal ketertarikan atau sekedar perhatian nan 'wajar' tumbuh di sini dan di sana, bila mereka mau.
Namun pilihan menabrak mainstream-lah yang mereka ambil.
Dan keduanya menyimpan perasaan itu rapat-rapat hingga ijab qabul-lah yang menjadi pembuka hijab.
***
Cinta platonis berakhir romantis antara ikhwan aktivis bernama Ali bin Abi Thalib karamallahu wajhah dan akhwat daiyah bernama Fatimah Az-Zahra binti Muhammad SAW ini bisa dibaca lengkapnya di sini.
Pria pengkhitbah pertama dalam true story itu adalah Abu Bakar ash-Shiddiq. Sedangkan yang kedua - yang juga ditolak - adalah Umar bin Khattab. Fathimah menolak Abu Bakr dan Umar, demi menanti pinangan Ali yang miskin.
Ini bukan dongeng. Bukan kisah Peter Pan atau Cinderella yang too good to be true. Mereka semua sungguh wujud. Dan romantisme itu sungguh terjadi. Yang paling penting, kisah mereka Allah hadirkan tentu bukan tanpa alasan.
Wallahu 'alam.
Pria pengkhitbah pertama dalam true story itu adalah Abu Bakar ash-Shiddiq. Sedangkan yang kedua - yang juga ditolak - adalah Umar bin Khattab. Fathimah menolak Abu Bakr dan Umar, demi menanti pinangan Ali yang miskin.
Ini bukan dongeng. Bukan kisah Peter Pan atau Cinderella yang too good to be true. Mereka semua sungguh wujud. Dan romantisme itu sungguh terjadi. Yang paling penting, kisah mereka Allah hadirkan tentu bukan tanpa alasan.
Wallahu 'alam.