52a. Pemanfaatan SlNPV sebagai Agensia Pengendalian Hayati Ulatgrayak pada Kedelai
January 19, 2019
sepatu orthopadi
orthoshoping.com
sepatu untuk koreksi kaki pengkor/ bengkok pada balita
Ads orthoshop
sepatu orthopadi
orthoshoping.com
sepatu untuk koreksi kaki pengkor/ bengkok pada balita
Ads orthoshop
sepatu orthopadi
orthoshoping.com
sepatu untuk koreksi kaki pengkor/ bengkok pada balita
Ads orthoshop
Arifin, M. 1994. Pemanfaatan SlNPV sebagai agensia pengendalian hayati ulatgrayak pada kedelai. Pertemuan tentang Pemanfaatan Agensia Hayati dan Pestisida Nabati sebagai Sarana Pengendalian Populasi OPT. Direktorat Bina Perlindungan Tanaman. Pandaan, Jawa Timur, 22-24 November 1994.
Muhammad Arifin
Balai Penelitian Tanaman Pangan Bogor
INTISARI
Makalah ini menyajikan informasi tentang sifat biologis, teknik perbanyakan, dan teknik aplikasi SlNPV sebagai pedoman dalam mengendalikan ulatgrayak pada kedelai. SlNPV memiliki beberapa sifat biologis yang cocok untuk digunakan dalam program PHT, khususnya untuk mengendalikan ulatgrayak pada kedelai. Sampai saat ini, usaha mengembangkan SlNPV menjadi insektisida mikrobia, khususnya untuk mengatasi sifat SlNPV yang peka terhadap radiasi sinar surya terus dilakukan di Balittan Bogor. Meskipun teknologi yang dihasilkan belum sempurna, namun berdasarkan informasi tentang teknik perbanyakan dan teknik aplikasi sebagaimana yang dikemukakan di dalam makalah ini, teknologi pemanfaatan SlNPV sebagai agensia pengendalian hayati sudah dapat diterapkan.
PENDAHULUAN
Spodoptera litura nuclear-polyhedrosis virus (SlNPV) dengan nama ilmiah Baculovirus litura (Virales, Baculoviridae) merupakan salah satu patogen ulatgrayak, Spodoptera litura. Virus ini pertama kali ditemukan oleh penulis pada saat mendeteksi penyebab kematian ulatgrayak yang dikoleksi dari pertanaman kedelai di Lampung Tengah pada tahun 1985. Sejak saat itu, penelitian untuk menjadikannya sebagai agensia pengendalian hayati ulatgrayak pada kedelai terus dilakukan di Balai Penelitian Tanaman Pangan (Balittan) Bogor.
Dari hasil-hasil penelitian yang telah dilaporkan, dapat dikemukakan bahwa SlNPV memiliki potensi biotik yang tinggi (Arifin, 1993). Sebagai agensia pengendalian hayati, SlNPV sesuai dengan prinsip PHT karena (a) memiliki inang spesifik terutama ulatgrayak dan beberapa jenis serangga Noctuidae lainnya, (b) tidak mempengaruhi predator dan parasitoid, dan tidak membahayakan serangga bukan sasaran, manusia, dan lingkungan, dan (c) dapat mengatasi masalah ulatgrayak yang resisten terhadap insektisida kimiawi (Starnes et al., 1993). Berdasarkan potensi biotik dan manfaat SlNPV tersebut, maka SlNPV layak untuk dikembangkan sebagai insektisida mikrobia.
Usaha mengembangkan SlNPV sebagai insektisida mikroba dapat ditempuh dengan cara (a) memperbanyak SlNPV, (b) mengatasi kendala yang mempengaruhi efektivitas SlNPV, dan (c) mengoptimalkan teknologi apiikasi SlNPV. Tulisan ini menginformasikan sifat biologis, teknik perbanyakan, dan teknik aplikasi SlNPV sebagai pedoman dalam mengendalikan ulatgrayak pada kedelai.
SIFAT BIOLOGIS
1. Deskripsi
NPV memiliki ciri khas, yaitu berupa inclusion bodies yang disebut polihedra. Polihedra berbentuk kristal bersegi banyak, berukuran 0,5-15 µm, dan tampak seperti bersinar. Gambaran morfologi polihedra tersebut dapat dilihat di bawah mikroskop cahaya perbesaran 600 kali. Di bawah mikroskop elektron perbesaran 18.000 kali, tampak struktur polihedra yang terdiri atas beberapa virion, selubung protein yang membungkus virion untuk menjaga stabilitas virion di lingkungan, dan massa protein yang disebut polihedrin (Gambar 1).
2. Proses dan Gejala lnfeksi
Proses infeksi NPV dimulai dengan tertelannya polihedra bersama pakan. Di dalam saluran pencernaan yang bersuasana alkalis (pH 9,0-10,5), selubung polihedra larut sehingga membebaskan virion. Virion menginfeksi sel-sel saluran pencernakan kemudian menembus dinding saluran dan masuk ke dalam rongga tubuh. Virion kemudian menginfeksi inti dari sel-sel rentan, seperti badan lemak, hipodermis, matriks trakea, epitel, dan sel-sel darah. Dalam waktu 1-2 hari setelah polihedra tertelan, hemolimfa yang semula jernih berubah menjadi jernih karena banyak mengandung polihedra. Ulat tampak seperti berminyak dan pucat kemerahan. Ulat menuju ke puncak tanaman kemudian mati dalam keadaan menggantung dengan kaki-semunya pada bagian tanaman. Integumen mengalami lisis dan disintegrasi sehingga sangat rapuh. Apabila terkena tusukan, integumen menjadi robek dan dari dalam tubuh ulat keluar hemolimfa yang banyak mengandung polihedra. Ulat muda mati dalam 2 hari, sedangkan ulat tua dalam 4-9 hari setelah polihedra tertelan (Ignoffo dan Couch, 1981).
3. Patogenisitas dan Efektivitas
SlNPV memiliki tingkat patogenisitas yang tinggi. Hal tersebut didasarkan atas hasil penelitian yang mengemukakan bahwa LC50 (konsentrasi yang mematikan 50% populasi) dan LC90 SlNPV untuk ulat instar III, masing-masing sebesar 5,4 X 103 dan 4,1 X 104 polyhedra inclusion bodies (PIBs)/ml. Semakin muda instar ulat, semakin rentan terhadap SlNPV. Tingkat ke rentanan ulat instar I 100 kali lebih tinggi daripada ulat instar V (Arifin, 1993).
Untuk mengetahui tingkat keefektitan SlNPV, suatu penelitian telah dilakukan di lahan petani, Banyuwangi. Hasilnya menunjukkan bahwa dosis 1,5 X 1012 PIBs/ha yang semula dinyatakan efektif terhadap ulatgrayak di rumah kaca dengan tingkat kematian ulat 73%, menurun menjadi 33% apabila diaplikasikan ke lapang (Arifin, 1993). Salah satu faktor penyebab menurunnya tingkat efektivitas SlNPV adalah sifatnya yang peka terhadap radiasi sinar surya.
4. Stabilitas
Sinar surya khususnya sinar ultra-violet dengan panjang gelombang >290 nm merupakan faktor penghambat SlNPV. Untuk mencegah terjadinya inaktivasi karena radiasi sinar surya, beberapa bahan pelindung banyak digunakan, antara lain karbon, pewarna dengan bahan dasar karbon, alumunium oksida, titanium dioksida, lempung, tepung, dan bahan flourescent, seperti polyflavonoids dan bahan pemutih (Ignoffo dan Couch, 1981).
Suhu di atas 400 C juga menghambat NPV, khususnya dalam proses replikasi virion. NPV dalam air pada suhu 370 C mulai menjadi inaktif setelah 7 hari. NPV relatif stabil pada suhu -200 C dan menjadi inaktif setelah 15 tahun. NPV yang disimpan pada suhu 270 C mulai mengalami inaktivasi setelah 5 tahun (Ignoffo dan Couch, 1981).
Suasana asam (pH ≤4,0) atau alkalis (pH ≥9,0) merusak aktivitas NPV. Untuk mencegahnya diperlukan fosfat penyangga. Umumnya, insektisida kimiawi kompatibel dengan NPV, kecuali methyl parathion karena menginaktivasi polihedra. Formalin dan natrium hipoklorit merusak virion sehingga sering digunakan sebagai disinfektan (Ignoffo and Couch, 1981).
TEKNIK PERBANYAKAN
Ada beberapa tahapan kegiatan yang dilalui dalam perbanyakan SlNPV, yaitu (a) pembiakan masal ulat grayak, (b) perbanyakan dan pembakuan SlNPV, dan (c) pemformulasian SlNPV (Arifin, 1993) (Gambar 2).
1. Pembiakan Masal Ulatgrayak
Ulat dikoleksi dari lapang kemudian dipelihara dengan pakan buatan (Tabel 1) hingga menjadi kepompong. Ngengat yang muncul dikawinkan dan dipelihara di dalam wadah steril yang bagian dalamnya dilapisi kertas fliter, tempat ngengat meletakkan telur. Sebagai pakan digunakan larutan madu 10%. Telur yang dihasilkan dipelihara hingga menetas menjadi ulat.
2. Perbanyakan dan Pembakuan SlNPV
Ulat berumur seminggu diberi pakan buatan yang diolesi dengan suspensi polihedra pada konsentrasi 107 PIBs/ml sampai rata membentuk lapisan film di permukaan pakan. Ulat dipelihara hingga mati. Setelah mati, ulat dikoleksi kemudian dicampur dengan air suling dan disaring sambil diaduk hingga homogen, dan selanjutnya disaring dengan menggunakan kasa nilon berukuran 100 mata jala (mesh). Suspensi polihedra kasar dimurnikan dengan menggunakan sentrifus selama 15 menit dengan kecepatan 3500 putaran/menit. Endapan yang dihasilkan dicuci dengan air suling dan dimurnikan kembali secara berulang hingga empat kali. Endapan hasil pencucian terakhir dijadikan suspensi polihedra sediaan dengan cara menambahkan beberapa tetes air suling kemudian disimpan di dalam almari es pada suhu 00 C.
Konsentrasi polihedra sediaan (100) diencerkan dengan air suling secara berturut-turut hingga diperoleh seri suspensi 10-1 – 10-5. Konsentrasi suspensi polihedra sediaan (PIBs/ml) ditentukan dengan cara menghitung banyaknya polihedra pada suspensi 10-5 dengan menggunakan haemacytometer. Umumnya, konsentrasi suspensi polihedra sediaan lebih-kurang 109 PIBs/ml, dan rata-rata seekor ulat instar VI mati terinfeksi SlNPV mengandung 8 X 109 PIBs.
3. Pemformulasian SlNPV
SlNPV diformulasikan dalam bentuk tepung untuk mempertahankan patogenisitasnya. Berdasarkan hasil penelitian di rumahkaca Bogor, tepung kaolin dan laktosum cocok digunakan sebagai bahan formulasi SlNPV karena tingkat efektivitas dosis 9 X 1012 PIBs/ha terhadap ulat instar III lebih dari 80%. Proses pemformulasian dilakukan dengan cara sebagai berikut: 100 ml suspensi polihedra dengan konsentrasi 1,2 X 108 PIBs/ml ditetesi dengan larutan perekat 0.1% Triton X-100 kemudian dicampur dengan tepung kaolin atau laktosum sebanyak 100 g sampai rata dan selanjutnya dikering-anginkan. Dengan cara tersebut, konsentrasi polihedra yang diformulasikan dalam bentuk tepung ditentukan sebesar 1,2 X 108 plBs/g.
4. Perbanyakan SlNPV secara Praktis
Petani dapat melakukan perbanyakan SlNPV secara praktis. Pertama-tanla, petani
harus diinformasikan bahwa dosis SlNPV efektif terhadap ulatgrayak adalah 1,2 X
1013 PIBs/ha dan seekor ulat instar VI mati terinfeksi SNPV mengandung 8 X 108 PIBs.
Berdasarkan informasi tersebut, banyaknya ulat mati terinfeksi SlNPV yang dibutuhkan
untuk mengendalikan ulatgrayak pada pertanaman kedelai seluas 1 ha.
1,2 X 1013 PIBs/ha
= ------------------------- = 1.500 ekor/ha
8 X 108 PlBs/ekor
Ulat dikoleksi dan dipelihara sebagaimana halnya dengan pembiakan masal ulatgrayak oleh peneliti, tetapi dengan pakan alami (daun kedelai atau talas). Ulat (generasi berikutnya) berumur seminggu sebanyak ± 2.000 ekor diberi pakan alami yang telah diolesi dengan suspensi polihedra kasar. Suspensi dibuat dengan cara melumatkan seekor ulat instar VI yang mati terinfeksi SlNPV dengan 10 ml air (± 2 sendok makan). Ulat dipelihara hingga mati. Ulat instar VI sebanyak 1.500 ekor yang mati terinfeksi SlNPV dipisahkan dengan ulat instar lainnya dan ulat mati bukan karena terinfeksi SlNPV, kemudian dilumatkan dengan menambahkan 0,5 l air dan selanjutnya disaring dengan kain halus. Pelumatan dan penyaringan diulang 4 kali hingga diperoleh suspensi polihedra kasar sebanyak 3 l. Suspensi kasar ini diencerkan dengan menambahkan air hingga diperoleh suspensi cair sebanyak 500 l yang cukup untuk disemprotkan ke tanaman seluas l ha.
Agar aktivitas SlNPV dapat dipertahankan stabil, hasil pemprosesan bahan pada setiap tahapan harus disimpan di dalam almari es.
TEKNIK APLIKASI
Usaha memanfaatkan SlNPV membutuhkan teknik aplikasi, antara lain ketentuan mengenai besarnya konsentrasi dan volume semprot, frekuensi aplikasi, waktu aplikasi, dan kombinasi SlNPV dengan insektisida kimiawi. Berikut ini disajikan hasil-hasil penelitian yang menerangkan hal tersebut.
1. Konsentrasi dan Volume Semprot
Hasil penelitian di Balittan Bogor menunjukkan bahwa SlNPV yang diaplikasikan dengan konsentrasi 2,3 X 107 PIBs/ml dan volume semprot 50 ml/m2 atau setara dengan dosis 1,2 X 1013 PlBs/ha atau 1.500 ekor ulat instar VI yang mati terinfeksi SlNPV, efektif terhadap ulatgrayak instar III dengan tingkat kematian 83%. Pada konsentrasi dan volume semprot tersebut, awal kematian ulat terjadi pada 6 hari setelah aplikasi (hsa) dan tingkat kematian ulat 80% terjadi pada 12 hsa (Arifin, 1993).
2. Frekuensi Aplikasi
Hasil penelitian di rumah kaca Bogor menunjukkan bahwa residu SlNPV dosis 3 X 1013 PIBs/ha pada 4 minggu setelah aplikasi masih efektif terhadap ulat instar III dengan tingkat kematian 82% (Arifin, 1993). Berbeda dengan hasil penelitian tersebut, Ignoffo dan Couch (1981) mengemukakan bahwa NPV yang diaplikasikan untuk mengendalikan pemakan polong, Helicoverpa armigera mengalami waktu paruh (half life) pada 2 hsa dan menjadi tidak efektif pada 14 hsa. Perbedaan kedua hasil penelitian tersebut karena perbedaan besarnya penerimaan radiasi sinar surya yang mempengaruhi aktivitas SlNPV. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, apabila terjadi serangan ulatgrayak secara berulang, maka aplikasi SlNPV sebaiknya dilakukan dengan interval 1-2 minggu.
3. Waktu Aplikasi
Aplikasi SlNPV sebaiknya dilakukan pada sore hari (setelah Asyar). Hasil penelitian lapang di Bogor menunjukkan bahwa dosis 3 X 1013 PIBs/ha yang diaplikasikan pada sore hari, yaitu sekitar pukul 16.00 WIB efektif terhadap ulatgrayak instar III. Aplikasi tersebut mengakibatkan tingkat kematian ulat 84% (Arifin, i993).
4. Cara Aplikasi
Menurut Okada (1917), aplikasi SlNPV harus diarahkan ke permukaan bawah daun. Hal ini didasarkan atas hasil penelitian yang menunjukkan bahwa SlNPV yang diaplikasikan pada permukaan atas daun menurun efektivitasnya hingga 50% setelah 3 jam dan menjadi inaktif setelah 15 jam, sedangkan yang diaplikasikan pada permukaan bawah daun menurun 50% setelah 20 jam.
5. Kombinasi SlNPV dengan Insektisida Kimiawi
Berbeda dengan insektisida kimiawi yang berdaya bunuh cepat. SlNPV memiliki sifat daya bunuh lambat sehingga ulat masih memungkinkan merusak tanaman. Untuk mempercepat daya bunuh, ada beberapa cara yang dapat ditempuh, antara lain (a) menyisipkan gen spesifik, misalnya δ endotoksin dari bakteri Bacillus thuringiensis ke dalam genom SlNPV, (b) mendapatkan strain SlNPV yang lebih virulen, dan (c) mengkombinasikan SlNPV dengan insktisida kimiawi (Stranes et al., 1993).
Peneiitian tentang keefektifan kombinasi SlNPV dengan insektisida kimiawi telah dilakukan di rumah kaca Bogor. Hasilnya menunjukkan bahwa SlNPV dosis 5 X 1011 PIBs/ha mengakibatkan kematian ulat instar IV sebesar 64%, tetapi apabila dikombinasikan dengan insektisida monokrotofos dengan dosis formulasi 2 l/ha mengakibatkan kematian ulat sebesar 82% (Arifin, 1993).
Di dalam mengaplikasikan NPV, ada tiga strategi yang dapat dipilih, yaitu (a) mengkonservasi inokulum NPV dengan cara memanipulasi lingkungan, (b) mengaplikasikan NPV secara terbatas agar NPV dapat mengatur populasi hama secara permanen sebagaimana halnya dengan pengendalian hayati klasik, dan (c) mengaplikasikan NPV secara berulang untuk mengendalikan hama dalam jangka pendek (Maddox, 1975; Starnes et al., 1993). Tampaknya strategi (c) lebih tepat dijadikan dasar untuk mengendalikan ulatgrayak pada kedelai, mengingat sifat SlNPV yang peka terhadap radiasi sinar surya.
KESIMPULAN
Berdasarkan informasi tentang sifat biologis, teknik perbanyakan, dan teknik aplikasi SlNPV tersebut di atas, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
1. SlNPV memiliki sifat biologis, antara lain potensi biotik yang tinggi, efektif, dapat mengatasi masalah hama yang resisten terhadap insektisida kimiawi, dan aman bagi lingkungan. Oleh karena itu, SlNPV cocok digunakan dalam program PHT, khususnya untuk mengendalikan ulatgrayak pada kedelai.
2. Usaha memperbanyak SlNPV secara praktis dapat dilakukan dengan cara menginokulasikan SlNPV ke populasi ulat kemudian mengkoleksi dan melumatkan ulat yang mati terinfeksi SlNPV dengan menambahkan air, dan akhirnya menyaring suspensi yang dihasilkan dengan menggunakan kain halus. Sebanyak 1.500 ekor ulat instar VI yang mati terinfeksi SlNPV dibutuhkan untuk diaplikasikan ke tanaman kedelai seluas 1 ha.
3. SlNPV dapat dimanfaatkan dengan cara mengaplikasikannya secara berulang untuk tujuan mengendalikan ulatgrayak dalam jangka pendek. Dosisnya 1,2 X 1013 PIBs/ha atau setara dengan 1.500 ekor ulat instar VI yang mati terinfeksi SlNPV per ha. Aplikasi sebaiknya diarahkan ke permukaan bawah daun pada sore (setelah pukul 16.00 WIB) dan dapat diulang dengan interval 1-2 minggu. SlNPV dosis 5 X 1011 PIBs/ha dapat dikombinasikan dengan insektisida monokrotofos dosis formulasi 2 l/ha untuk mempercepat daya bunuh SlNPV.
PUSTAKA
1. Arifin, M. 1993. Rangkuman hasil penelitian pengendalian ulatgrayak, Spodoptera litura (F.) dengan SlNPV pada kedelai di Indonesia. Seminar Balittan Bogor tanggal 8 Oktober 1993. 15 hal.
2. Ignoffo, C.M. and T.L. Couch. 1981. The nucleopolyhedrosis virus of Heliothis species as a microbial insecticide, p. 329-362. In H.D. Burges (Ed.). Microbial control of pests and plant diseases 1970-1980. Academic Press, London.
3. Maddox, J.V. 1975. Use of diseases in pest management, p. 184-233. In R.L. Metcalf and W.H. Luckmann (Eds.). introduction to insect pest management. John Wiley & Sons, New York.
4. Okada, M. 1977. Studies on the utiiization and mass production of SlNPV for control of the tobacco cutworm, Spodoptera litura F. Rev. Pl. Protec. Res. 10: 102-128.
5. Okada, M. and M. Arifin. 1982. Comparative rearing test of the common armyworm, Leucania separata Walker on artificial diet and host plants, and patogenicity of LsNPV to the common armyworm. Research Report of Japan-lndonesia Joint Agricultural Research Project. pp. 207-215.
6. Payne. C.C. and D.C. Kelly. 1981. Identification of insect and mite viruses, p. 61-91. In H.D. Burges (Ed.). Microbial control of pests and plant diseases 1970-1980. Academic Press, London.
7. Starnes, R.L., C.L. Liu, and P.G. Marrone. 1993. History, use, and future of microbial insecticides. American Entomologist. Summer: 83-91.
8. Tanada, Y. and H.K. Kaya. 1993. Insect pathology. Academic Press, inc., Toronto.
0 comments