Menjadi dosa besar bagi seorang jurnalis, mewartakan sesuatu tanpa melalui proses verifikasi yang sahih. Setelah dapat info bombastis, bom langsung dilemparkan ke publik. Apa jadinya?
Memeriksa kebenaran berita, walau jelas perlu ketekunan dan mungkin sesekali ngotot-ngototan, adalah kemestian. Tak boleh tidak.
Narasumber punya hak untuk menyampaikan sudut pandang yang mungkin berbeda dengan keinginan kita (maunya sih narsum ini kagak usah ngomong sekalian, dah ketauan boongnya, misalnya ...).
Orang fasik yang jadi wartawan, menurut saya, sangat berbahaya. Bisa-bisa realitas dibungkus dan disajikan sesuai kehendak. Lebih berbahaya lagi kalau wartawannya fasik, narsumnya pendusta.
Entahlah, semakin ke belakang semakin sulit percaya apa yang terhidang di media ...
Bagus juga kalau sempat baca dakwatuna.com berikut ini, di sini.
Memeriksa kebenaran berita, walau jelas perlu ketekunan dan mungkin sesekali ngotot-ngototan, adalah kemestian. Tak boleh tidak.
Narasumber punya hak untuk menyampaikan sudut pandang yang mungkin berbeda dengan keinginan kita (maunya sih narsum ini kagak usah ngomong sekalian, dah ketauan boongnya, misalnya ...).
Orang fasik yang jadi wartawan, menurut saya, sangat berbahaya. Bisa-bisa realitas dibungkus dan disajikan sesuai kehendak. Lebih berbahaya lagi kalau wartawannya fasik, narsumnya pendusta.
Entahlah, semakin ke belakang semakin sulit percaya apa yang terhidang di media ...
Jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah (kebenarannya) dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu
Bagus juga kalau sempat baca dakwatuna.com berikut ini, di sini.