Harus sebanyak mungkin mengumpulkan persangkaan baik, mengapa pahlawan perempuan tidak menonjol dalam khazanah siroh Islam.
Sebagaimana terjadi setiap Idul Adha, nama Hajar timbul tenggelam dalam khutbah-khutbah hari raya atau sms ucapan Idul Adha, atau update status jejaring. Padahal ketauladanan bukan hanya berasal dari Ibrahim as. atau Ismail as. Perempuan luar biasa seperti Hajar seharusnya juga dikenang agar jadi inspirasi perempuan-perempuan modern.
Bersyukur, Ustadzah Herlini Amran menghadirkan artikel ini. Silakan klik situs ini untuk sumber sahihnya.
[nyala semangat agar muslimah juga bisa ke depan - semata dalam kerangka kebaikan - mudah-mudahan tak membuat ada mata-mata terpicing karena alasan: feminis banget sih .... Kalaupun itu tak terhindarkan, yaa ... Allah Maha Tahu]
Idul Qurban dan Kepahlawanan Perempuan
Mengenang kembali peristiwa besar yang telah diukir oleh nabi Ibrahim dan putranya Ismail, berarti mengingat pula seorang sosok perempuan yang tidak kalah hebatnya dengan Nabi Ibrahim dan nabi Ismail. Ya, dia adalah Siti Hajar. Peristiwa yang kita kenal dengan Idul Qurban tersebut tidak hanya mengajarkan tentang sebuah pengorbanan, ketaatan tetapi juga ketulusan dan keikhlasan seorang perempuan menunaikan perintah Allah. Semua dilakukan atas nama cinta dan ketaatan kepada Tuhannya.
Ketika Ibrahim di titahkan Allah untuk mengorbankan Ismail, maka Ibrahim mentaatinya. Cinta dan keimanan menepiskan semua keraguan. Ismail dengan kesabaran dan keimananya, merelakan dirinya untuk di korbankan sesuai perintah Allah swt. Setelah nyata ketaatan dan pengorbanan Ibrahim beserta Ismail, di detik detik penyembelihan, Allah swt menggantinya dengan hewan sembelihan, yang kemudian menjadi dasar di syariatkannya ibadah kurban.
Keikhlasan Ismail tentunya tidak semata-semata lahir begitu saja. Tapi ada sosok perempuan yang membentuk Ia menjadi lelaki yang tegar dan penuh kesalihan. Didikan penuh keikhlasan dan kepasrahan dari Ibundanya ini memberi pengaruh positif atas keikhlasan Nabi Ismail menerima perintah Allah melalui ayah kandungnya sendiri untuk menyembelihnya. "Pada mulanya adalah Hajar, seorang perempuan, yang pulang pergi antara bukit Shafa dan Marwah untuk mencari air bagi anaknya. Tuhan kemudian memberinya pertolongan dengan memancarkan air dari bawah tanah yang disebut "tha'am tha'm", makanan orang
yang kelaparan dan "syifa' saqam", obat bagi penyakit.(Ibnu Katsir, Tafsir, I/199)
Penggalan kisah Siti Hajar adalah kisah perjuangan dan ketawakalan. Ali Syari'ati mengidentifikasi Hajar dengan sejumlah identitas sosial lebih lengkap: "Ia seorang perempuan yang bertanggungjawab. Ia seorang ibu yang mencinta, sendirian, mengelana, mencari dan menanggungkan penderitaan serta kekhawatiran, tanpa pembela dan tempat berteduh, terlunta-lunta, terasing dari masyarakatnya, tidak mempunyai kelas, tidak mempunyai ras dan tidak berdaya. Ia seorang budak yang kesepian, seorang korban, seorang asing yang
terbuang dan dibenci".(Ali Syari'ati, Haji, hlm.47).
*Siti Hajar:Simbol Kepahlawanan*
Hajar adalah sosok perempuan yang berperan sangat besar bagi sebuah kehidupan manusia dan semesta. Hajar adalah potret seorang Ibu yang membesarkan anaknya sendirian. Sesudah melahirkan seorang bayi laki-laki bernama Ismail, Hajar ditinggal Ibrahim sendirian di tempat yang gersang dekat "Rumah Tuhan". Al Qur-an menyebut "bi wadin ghairi dzi zar'in ‘inda baitika l-muharram", (di lembah gersang di samping rumah-Mu yang dimuliakan). Sebuah padang tandus, tanpa penghuni dan tetumbuhan.
Dalam keadaan usia yang tak lagi muda, Siti Hajar dan Ismail ditinggalkan Ibrahim. Ibu Ismail segera membuntutinya dan berkata: 'Hai Ibrahim, pergi kemana engkau dan engkau tinggalkan kami di lembah yang tidak ada manusia dan apa-apanya ini?' Hajar menyampaikan pertanyaan itu kepada Ibrahim berulang kali, sementara Ibrahim tidak menoleh kepadanya sama sekali. Lalu Hajar bertanya lagi: 'Apakah Allah yang memerintahkanmu untuk melakukan perbuatan ini?' Ibrahim menjawab: 'Ya.' Hajar berkata: 'Kalau demikian
halnya, tentu Allah tidak akan menyia-nyiakan kami.' Kemudian Hajar kembali (ke Baitullah).
Menurut satu riwayat: 'Wahai Ibrahim, kepada siapa engkau tinggalkan kami?' Ibrahim menjawab: 'Kepada Allah.' Hajar berkata: 'Aku pasrah kepada Allah.'" (HR Bukhari)
Bukan hal yang mudah bagi seorang istri merelakan suami meninggalkannya. Apalagi dalam kondisi penuh keterbatasan. Bukan hal yang mudah pula membangun keikhlasan diantara alasan Ibrahim yang mungkin tak bisa dilogikakan. Tapi begitulah Hajar. Mencoba menata semangat hidup dilandasan keyakinannya kepada Allah. Selepas ditinggalkan Ibrahim, Hajar berlalri-lari mencari sumber mata air antara Safa dan Marwah. Dan akhirnya Allah alirkan mata air melalui hentakan kaki-kaki kecil Ismail.
*Dimensi Moral, Sosial dan Spiritual*
Hari raya Qurban tidak semata-mata sebuah perayaan belaka. Hari raya ini memiliki dimensi moral, sosial dan spiritual. Inilah bukti hanya bahwa Islam adalah rahmat bagi semesta. Islam mengakui konsep persembahan kepada Allah berupa penyembelihan hewan, namun diatur sedemikian rupa sehingga sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan dan bersih dari unsur penyekutuan terhadap Allah. Islam memasukkan dua nilai penting dalam ibadah qurban ini, yaitu nilai historis berupa mengabadikan kejadian penggantian qurban nabi Ibrahim
dengan seekor domba dan nilai kemanusiaan berupa pemberian makan dan membantu fakir miskin pada saat hari raya. Ketika tidak semua masyarakat kita bisa mengkonsumsi daging, hari Idul adha menebarkan daging kurban untuk berbagi.
Dalam hadist riwayat Ahmad, Ibnu Majah dan Tirmidzi dari Zaid bin Arqam, suatu hari Rasulullah ditanyai "untuk aapa sembelihan ini?" belian menjawab: "Ini sunnah (tradisi) ayah kalian nabi Ibrahim a.s." lalu sahabat
bertanya:"Apa manfaatnya bagi kami?" belau menjawab:"Setiap rambut qurban itu membawa kebaikan" sahabat bertanya: "Apakah kulitnya?" beliau menjawab: "Setiap rambut dari kulit itu menjadi kebaikan".
Memaknai nilai spritualitas dari penyembelihan hewan qurban berarti membunuh sifat-sifat hewaniyah dan syaitaniyyah yang bersarang di dalam dirinya, dengan tetap mempertahankan sifat-sifat kemanusiaan dan ke-Tuhanan.
Kondisi saat ini menuntut adanya pendalaman spiritualitas yang lebih mengingat sifat-sifat kemanusiaan yang mulai mengikis digerus zaman.
Dalam kisah Ibrahim pula, posisi Hajar dan Sarah dalam konteks moral adalah kerelaan Sarah membagi suaminya. Seandainya tanpa "izin" Sarah, Ibrahim tidak akan meminang Hajar untuk dijadikan sebagai isteri kedua. Poligami Ibrahim yang bertujuan untuk ikhtiar memperoleh keturunan pada awalnya adalah bagian dari pengorbanan Sarah yang rela memberikan suaminya demi harapan keturunan dari Hajar.
Di seluruh rangkaian Idul Adha, tidak lepas dari peran dan pengorbanan seorang Siti Hajar, baik sebagai seorang istri, seorang ibu maupun sebagai perempuan. Pengorbanannya tidak kalah dahsyat dengan pengorbanan Nabi Ibrahim dan Ismail. Pesan moral penting lainnya adalah tentang ketaatan, tanggungjawab, ikhtiar dan besarnya tawakal serta keyakinan terhadap Allah.
Semua ini tidak akan lakukan Siti Hajar, jika ia tidak memiliki tingkat spiritualitas yang tinggi. Di percakapan terakhirnya dengan Ibrahim ia berkata" aku pasrah kepada Allah". Betapa istimewanya siti Hajar bahkan Nabi Muhammad pernah bersabda, "Semoga Allah memberkahi ibu Ismail."
by Hj. Herlini Amran, MA
***
Mantabb bukan?
Sebagaimana terjadi setiap Idul Adha, nama Hajar timbul tenggelam dalam khutbah-khutbah hari raya atau sms ucapan Idul Adha, atau update status jejaring. Padahal ketauladanan bukan hanya berasal dari Ibrahim as. atau Ismail as. Perempuan luar biasa seperti Hajar seharusnya juga dikenang agar jadi inspirasi perempuan-perempuan modern.
Bersyukur, Ustadzah Herlini Amran menghadirkan artikel ini. Silakan klik situs ini untuk sumber sahihnya.
[nyala semangat agar muslimah juga bisa ke depan - semata dalam kerangka kebaikan - mudah-mudahan tak membuat ada mata-mata terpicing karena alasan: feminis banget sih .... Kalaupun itu tak terhindarkan, yaa ... Allah Maha Tahu]
Idul Qurban dan Kepahlawanan Perempuan
Mengenang kembali peristiwa besar yang telah diukir oleh nabi Ibrahim dan putranya Ismail, berarti mengingat pula seorang sosok perempuan yang tidak kalah hebatnya dengan Nabi Ibrahim dan nabi Ismail. Ya, dia adalah Siti Hajar. Peristiwa yang kita kenal dengan Idul Qurban tersebut tidak hanya mengajarkan tentang sebuah pengorbanan, ketaatan tetapi juga ketulusan dan keikhlasan seorang perempuan menunaikan perintah Allah. Semua dilakukan atas nama cinta dan ketaatan kepada Tuhannya.
Ketika Ibrahim di titahkan Allah untuk mengorbankan Ismail, maka Ibrahim mentaatinya. Cinta dan keimanan menepiskan semua keraguan. Ismail dengan kesabaran dan keimananya, merelakan dirinya untuk di korbankan sesuai perintah Allah swt. Setelah nyata ketaatan dan pengorbanan Ibrahim beserta Ismail, di detik detik penyembelihan, Allah swt menggantinya dengan hewan sembelihan, yang kemudian menjadi dasar di syariatkannya ibadah kurban.
Keikhlasan Ismail tentunya tidak semata-semata lahir begitu saja. Tapi ada sosok perempuan yang membentuk Ia menjadi lelaki yang tegar dan penuh kesalihan. Didikan penuh keikhlasan dan kepasrahan dari Ibundanya ini memberi pengaruh positif atas keikhlasan Nabi Ismail menerima perintah Allah melalui ayah kandungnya sendiri untuk menyembelihnya. "Pada mulanya adalah Hajar, seorang perempuan, yang pulang pergi antara bukit Shafa dan Marwah untuk mencari air bagi anaknya. Tuhan kemudian memberinya pertolongan dengan memancarkan air dari bawah tanah yang disebut "tha'am tha'm", makanan orang
yang kelaparan dan "syifa' saqam", obat bagi penyakit.(Ibnu Katsir, Tafsir, I/199)
Penggalan kisah Siti Hajar adalah kisah perjuangan dan ketawakalan. Ali Syari'ati mengidentifikasi Hajar dengan sejumlah identitas sosial lebih lengkap: "Ia seorang perempuan yang bertanggungjawab. Ia seorang ibu yang mencinta, sendirian, mengelana, mencari dan menanggungkan penderitaan serta kekhawatiran, tanpa pembela dan tempat berteduh, terlunta-lunta, terasing dari masyarakatnya, tidak mempunyai kelas, tidak mempunyai ras dan tidak berdaya. Ia seorang budak yang kesepian, seorang korban, seorang asing yang
terbuang dan dibenci".(Ali Syari'ati, Haji, hlm.47).
*Siti Hajar:Simbol Kepahlawanan*
Hajar adalah sosok perempuan yang berperan sangat besar bagi sebuah kehidupan manusia dan semesta. Hajar adalah potret seorang Ibu yang membesarkan anaknya sendirian. Sesudah melahirkan seorang bayi laki-laki bernama Ismail, Hajar ditinggal Ibrahim sendirian di tempat yang gersang dekat "Rumah Tuhan". Al Qur-an menyebut "bi wadin ghairi dzi zar'in ‘inda baitika l-muharram", (di lembah gersang di samping rumah-Mu yang dimuliakan). Sebuah padang tandus, tanpa penghuni dan tetumbuhan.
Dalam keadaan usia yang tak lagi muda, Siti Hajar dan Ismail ditinggalkan Ibrahim. Ibu Ismail segera membuntutinya dan berkata: 'Hai Ibrahim, pergi kemana engkau dan engkau tinggalkan kami di lembah yang tidak ada manusia dan apa-apanya ini?' Hajar menyampaikan pertanyaan itu kepada Ibrahim berulang kali, sementara Ibrahim tidak menoleh kepadanya sama sekali. Lalu Hajar bertanya lagi: 'Apakah Allah yang memerintahkanmu untuk melakukan perbuatan ini?' Ibrahim menjawab: 'Ya.' Hajar berkata: 'Kalau demikian
halnya, tentu Allah tidak akan menyia-nyiakan kami.' Kemudian Hajar kembali (ke Baitullah).
Menurut satu riwayat: 'Wahai Ibrahim, kepada siapa engkau tinggalkan kami?' Ibrahim menjawab: 'Kepada Allah.' Hajar berkata: 'Aku pasrah kepada Allah.'" (HR Bukhari)
Bukan hal yang mudah bagi seorang istri merelakan suami meninggalkannya. Apalagi dalam kondisi penuh keterbatasan. Bukan hal yang mudah pula membangun keikhlasan diantara alasan Ibrahim yang mungkin tak bisa dilogikakan. Tapi begitulah Hajar. Mencoba menata semangat hidup dilandasan keyakinannya kepada Allah. Selepas ditinggalkan Ibrahim, Hajar berlalri-lari mencari sumber mata air antara Safa dan Marwah. Dan akhirnya Allah alirkan mata air melalui hentakan kaki-kaki kecil Ismail.
*Dimensi Moral, Sosial dan Spiritual*
Hari raya Qurban tidak semata-mata sebuah perayaan belaka. Hari raya ini memiliki dimensi moral, sosial dan spiritual. Inilah bukti hanya bahwa Islam adalah rahmat bagi semesta. Islam mengakui konsep persembahan kepada Allah berupa penyembelihan hewan, namun diatur sedemikian rupa sehingga sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan dan bersih dari unsur penyekutuan terhadap Allah. Islam memasukkan dua nilai penting dalam ibadah qurban ini, yaitu nilai historis berupa mengabadikan kejadian penggantian qurban nabi Ibrahim
dengan seekor domba dan nilai kemanusiaan berupa pemberian makan dan membantu fakir miskin pada saat hari raya. Ketika tidak semua masyarakat kita bisa mengkonsumsi daging, hari Idul adha menebarkan daging kurban untuk berbagi.
Dalam hadist riwayat Ahmad, Ibnu Majah dan Tirmidzi dari Zaid bin Arqam, suatu hari Rasulullah ditanyai "untuk aapa sembelihan ini?" belian menjawab: "Ini sunnah (tradisi) ayah kalian nabi Ibrahim a.s." lalu sahabat
bertanya:"Apa manfaatnya bagi kami?" belau menjawab:"Setiap rambut qurban itu membawa kebaikan" sahabat bertanya: "Apakah kulitnya?" beliau menjawab: "Setiap rambut dari kulit itu menjadi kebaikan".
Memaknai nilai spritualitas dari penyembelihan hewan qurban berarti membunuh sifat-sifat hewaniyah dan syaitaniyyah yang bersarang di dalam dirinya, dengan tetap mempertahankan sifat-sifat kemanusiaan dan ke-Tuhanan.
Kondisi saat ini menuntut adanya pendalaman spiritualitas yang lebih mengingat sifat-sifat kemanusiaan yang mulai mengikis digerus zaman.
Dalam kisah Ibrahim pula, posisi Hajar dan Sarah dalam konteks moral adalah kerelaan Sarah membagi suaminya. Seandainya tanpa "izin" Sarah, Ibrahim tidak akan meminang Hajar untuk dijadikan sebagai isteri kedua. Poligami Ibrahim yang bertujuan untuk ikhtiar memperoleh keturunan pada awalnya adalah bagian dari pengorbanan Sarah yang rela memberikan suaminya demi harapan keturunan dari Hajar.
Di seluruh rangkaian Idul Adha, tidak lepas dari peran dan pengorbanan seorang Siti Hajar, baik sebagai seorang istri, seorang ibu maupun sebagai perempuan. Pengorbanannya tidak kalah dahsyat dengan pengorbanan Nabi Ibrahim dan Ismail. Pesan moral penting lainnya adalah tentang ketaatan, tanggungjawab, ikhtiar dan besarnya tawakal serta keyakinan terhadap Allah.
Semua ini tidak akan lakukan Siti Hajar, jika ia tidak memiliki tingkat spiritualitas yang tinggi. Di percakapan terakhirnya dengan Ibrahim ia berkata" aku pasrah kepada Allah". Betapa istimewanya siti Hajar bahkan Nabi Muhammad pernah bersabda, "Semoga Allah memberkahi ibu Ismail."
by Hj. Herlini Amran, MA
***
Mantabb bukan?