95. Kompatibilitas SlNPV dengan HaNPV dalam Pengendalian Ulat Grayak dan Ulat Pemakan Polong Kedelai
January 17, 2019
sepatu orthopadi
orthoshoping.com
sepatu untuk koreksi kaki pengkor/ bengkok pada balita
Ads orthoshop
sepatu orthopadi
orthoshoping.com
sepatu untuk koreksi kaki pengkor/ bengkok pada balita
Ads orthoshop
sepatu orthopadi
orthoshoping.com
sepatu untuk koreksi kaki pengkor/ bengkok pada balita
Ads orthoshop
Arifin, M. 2006. Kompatibilitas SlNPV dengan HaNPV dalam Pengendalian Ulat Grayak dan Ulat Pemakan Polong Kedelai. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan. 25 (1): 65-70.
Muhammad Arifin
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian
Jalan Tentara Pelajar 3A, Bogor 16111
ABSTRACT. Compatibility of SlNPV with HaNPV to Control Soybean Cutworm and Pod Feeder. The cutworm, Spodoptera litura (F.) and pod feeder, Helicoverpa armigera (F.) are the most important insect pests on soybeans. Both insect pests can be controlled by using an entomopathogenic virus called nuclearpolyhedrosis virus (NPV). An experiment was conducted in a laboratory from September to December 2004 to determine the compatibility of SlNPV with HaNPV as active ingredients of a broad spectrum and virulence NPV biopesticide to control soybean cutworm and pod feeder. The experiment used four treatments of SlNPV and HaNPV combinations, each with nine concentrations ranged from 5 X 102 to 5 X 106 polyhedra inclusion bodies (PIBs)/ml. Results indicated that the SlNPV and HaNPV combinations were highly virulence to the cutworm and pod feeder, with LC50 values were 6.0 X 103 and 6.5 X 103 PIBs/ml, respectively. The SlNPV and HaNPV combinations were the same virulence with NPV standards. Therefore, both NPVs were compatible and suitable to be combined as a broad spectrum biopesticide to control soybean cutworm and pod feeder.
Keywords: Soybean, SlNPV, HaNPV, cutworm, pod feeder, compatibility
ABSTRAK. Ulat grayak Spodoptera litura (F.) dan ulat pemakan polong Helicoverpa armigera (F.)merupakan hama penting tanaman kedelai. Kedua jenis serangga hama tersebut dapat dikendalikan dengan memanfaatkan sejenis virus patogen serangga yang dikenal sebagai nuclear-polyhedrosis virus (NPV). Suatu percobaan telah dilakukan di laboratorium pada bulan September hingga Desember 2004 untuk menentukan tingkat kompatibilitas SlNPV dengan HaNPV sebagai bahan aktif biopestisida NPV berspektrum luas dan virulen terhadap ulat grayak dan ulat pemakan polong kedelai. Percobaan dilaksanakan dengan empat perlakuan kombinasi SlNPV dan HaNPV, masing-masing dengan sembilan tingkat konsentrasi yang berkisar antara 5 x 102 hingga 5 x 106 polyhedra inclusion bodies (PIBs)/ml. Hasil percobaan menunjukkan bahwa kombinasi SlNPV dengan HaNPV memiliki tingkat virulensi tinggi terhadap ulat grayak dan ulat pemakan polong, masing-masing dengan nilai LC50 6,0 x 103 dan 6,5 x 103 PIBs/ml. Tingkat virulensi kombinasi kedua jenis NPV tersebut relatif sama dengan standar sehingga SlNPV dinyatakan kompatibel dengan HaNPV, oleh karena itu layak dikombinasikan sebagai biopestisida berspektrum luas untuk mengendalikan ulat grayak dan ulat pemakan polong kedelai sekaligus.
Kata kunci: Kedelai, SlNPV, HaNPV, ulat grayak, ulat pemakan polong, kompatibilitas
Nuclear-polyhedrosis virus (NPV) merupakan salah satu jenis virus patogen yang menginfeksi beberapa jenis serangga hama, antara lain ulat grayak dan ulat pemakan polong kedelai. NPV untuk ulat grayak disebut SlNPV (Borrelinavirus litura) dan untuk pemakan polong disebut HaNPV (B. heliothis). Hasil percobaan laboratorium menunjukkan bahwa NPV memiliki potensi biotik tinggi, ditunjukkan oleh tingkat patogenisitasnya yang dinyatakan dengan nilai LC50 (konsentrasi yang mematikan 50% populasi). LC50 SlNPV untuk ulat grayak adalah 5,4 x 103 polyhedra inclusion bodies (PIBs)/ml (Arifin dan Waskito 1986), sedangkan untuk ulat pemakan polong 6 x 103 PIBs/ml (Gothama 1999).
Dalam usaha pengembangan NPV sebagai biopestisida, Balai Besar Litbang Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian (BB Biogen) telah berhasil memperbanyak NPV secara in vivo dengan inang aslinya (ulat grayak untuk SlNPV dan ulat pemakan polong untuk HaNPV) dan memformulasikan dalam bentuk tepung (wettable powder). Biopestisida SlNPV dan biopestisida HaNPV tersebut masih memiliki kelemahan utama, yaitu sifatnya yang spesies spesifik. Artinya, isolat NPV yang diperoleh dari hasil isolasi suatu jenis serangga mati terinfeksi NPV hanya efektif terhadap jenis serangga itu sendiri. Sifat NPV tersebut menjadikan biopestisida NPV kurang mampu bersaing dengan insektisida kimiawi sehingga kurang diminati oleh pengguna (petani). Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian untuk merekayasa biopestisida NPV agar berspektrum luas dan virulen terhadap berbagai jenis hama Lepidoptera pada kedelai. Untuk mendapatkan biopestisida NPV berspektrum luas dan virulen, Maddox (1975) menyarankan untuk mengkombinasikan dua jenis NPV yang umumnya bersifat spesies spesifik.
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan tingkat kompatibilitas SlNPV dengan HaNPV untuk bahan aktif biopestisida NPV berspektrum luas dan virulen terhadap ulat grayak dan ulat pemakan polong kedelai.
BAHAN DAN METODE
Pembiakan Serangga Inang
Ulat grayak dan ulat pemakan polong dikoleksi dari lapang di daerah Bogor. Ulat grayak dipelihara secara massal dalam kotak plastik dengan pakan daun talas, sedangkan ulat pemakan polong dipelihara secara individual dalam vial plastik dengan pakan tongkol jagung muda. Kepompong yang terbentuk dipelihara dalam kotak plastik yang bagian dasarnya diisi dengan serbuk gergaji atau tanah hingga terbentuk ngengat. Ngengat sebanyak 5-10 pasang dipasangkan dalam stoples plastik yang bagian dalamnya dilapisi kertas untuk peletakan telur. Ngengat diberi pakan larutan madu 10% yang diresapkan pada kapas. Telur yang dihasilkan dipelihara dalam kotak plastik hingga menetas menjadi ulat.
Perbanyakan NPV
Jenis NPV yang digunakan dalam percobaan ini adalah isolat SlNPV dari Brebes dan HaNPV dari Banyuwangi yang telah terbukti virulen berdasarkan hasil percobaan sebelumnya (Arifin dan Waskito 1986; Gothama,1999). Kedua isolat NPV tersebut diperoleh dari BB Biogen, kemudian diperbanyak dengan cara berikut: ulat instar IV hasil pembiakan di laboratorium diberi pakan buatan (menurut metode Okada dan Arifin 1982) yang telah diolesi dengan suspensi NPV berkonsentrasi 1 x 107 PIBs/ml (konsentrasi yang mematikan populasi 100%). Ulat-ulat tersebut dipelihara hingga mati. Setelah mati, ulat dikoleksi, diekstraksi, dan dimurnikan dengan menggunakan metode Arifin dan Waskito (1986). Ulat-ulat mati terinfeksi NPV dicampur dengan air suling kemudian disaring dengan menggunakan kasa nilon berukuran 100 mala jala (mesh). Suspensi polyhedra kasar dimurnikan dengan menggunakan sentrifus berkecepatan 3500 putaran/menit selama 15 menit. Endapan yang terjadi disuspensikan dengan menambahkan beberapa tetes air suling. Konsentrasi suspensi ini ditentukan dengan menggunakan haemacytometer. Selanjutnya, suspensi diencerkan hingga diperoleh konsentrasi baru 5 x 106 PIBs/ml. Proses produksi biopestisida NPV disajikan pada Gambar 1.
Virulensi Kombinasi SlNPV dengan HaNPV
Percobaan dilaksanakan di laboratorium BB Biogen pada bulan September-Desember 2004, terdiri atas empat macam perlakuan kombinasi NPV, yaitu SlNPV untuk ulat grayak, HaNPV untuk ulat pemakan polong, kombinasi SlNPV dengan HaNPV untuk ulat grayak, dan kombinasi yang sama untuk ulat pemakan polong, masing-masing dengan sembilan konsentrasi (5 x 102; 1 x 103; 5 x 103; 1 x 104; 5 x 104; 1 x 105; 5 x 105; 1 x 106; 5 x 106 PIBs/ml) dan kontrol. Tiap perlakuan diulang tiga kali.
Suspensi NPV untuk tiap perlakuan kombinasi dan konsentrasi disemprotkan ke tiga rumpun tanaman kedelai yang ditumbuhkan dalam pot (2 batang/rumpun/pot) dengan volume semprot 50 ml/m2. Sebagai kontrol, air suling disemprotkan ke rumpun tanaman. Setelah penyemprotan, tiap rumpun tanaman diinfestasi dengan ulat grayak dan ulat pemakan polong instar III, sesuai perlakuan, masing-masing sebanyak 20 ekor, kemudian rumpun tanaman disungkup dengan kurungan plastik selama 48 jam. Setelah itu, ulat dipelihara secara individual dalam vial plastik dan diberi pakan buatan. Ulat yang mati dicatat setiap hari hingga semua ulat mati atau berkepompong. Nilai LC50 kombinasi SlNPV dengan HaNPV untuk ulat grayak dan ulat pemakan polong dihitung dengan metode Finney (1971), kemudian dibandingkan dengan nilai LC50 SlNPV dan HaNPV untuk menentukan tingkat virulensi relatif dari kombinasi SlNPV dengan HaNPV. Apabila nilai LC50 kombinasi SlNPV dengan HaNPV relatif sama atau lebih rendah daripada LC50 S/NPV atau HaNPV, maka kombinasi S/NPV dengan HaNPV dinyatakan kompatibel.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kematian Ulat
Hasil pengamatan kematian ulat grayak dan ulat pemakan polong setelah diaplikasi dengan NPV pada berbagai perlakuan kombinasi jenis dan konsentrasi NPV menunjukkan bahwa kematian kedua jenis ulat tersebut dipengaruhi oleh konsentrasi NPV (Gambar 2). Kematian ulat tertinggi terjadi pada perlakuan konsentrasi 1 x 106 dan 5 x 106 PIBs/ml kemudian menurun dengan berkurangnya konsentrasi, dan yang terendah pada konsentrasi 5 x 102 dan 1 x 103 PIBs/ml. Kematian ulat grayak pada perlakuan kombinasi SlNPV dengan HaNPV relatif sama dengan perlakuan SlNPV. Kematian ulat pemakan polong pada perlakuan kombinasi NPV tersebut relatif sama dengan perlakuan HaNPV.
Penilaian tingkat keefektifan NPV pada berbagai jenis dan konsentrasi terhadap ulat grayak dan pemakan polong didasarkan atas hasil pengamatan tingkat kematian ulat setelah diaplikasi dengan NPV. Secara umum dapat dikemukakan bahwa pada kisaran dosis 5 x 102 hingga 5 x 106 PIBs/ml, tingkat kematian ulat meningkat dengan bertambahnya dosis NPV (Gambar 2). Menurut Maddox (1975), tingkat kematian ulat karena NPV dipengaruhi oleh banyaknya polyhedra yang tertelan ulat. Semakin tinggi dosis NPV yang diaplikasikan berarti butiran polyhedra yang terlapiskan pada tanaman semakin tebal sehingga yang tertelan ulat semakin banyak pula. Semakin banyak polyhedra yang tertelan, peluang terjadinya infeksi pada sel-sel jaringan tubuh yang rentan akan semakin besar sehingga tingkat kematian ulat semakin tinggi.
Dalam konsep Pengendalian Hama Terpadu (PHT), usaha pencegahan kerusakan ekonomi (economic damage) pada tanaman akibat serangan hama lebih diutamakan daripada memusnahkan hama tersebut. Beberapa penulis mengemukakan bahwa keefektifan cara pengendalian ditunjukkan oleh kemampuan menurunkan populasi hama 70-80% (Mumford and Norton; Reynolds et al. 1975). Berdasarkan ketentuan tersebut, dalam penelitian ini perlakuan 1 x 105 PIBs/ml dinyatakan efektif.
Waktu Kematian Ulat
Hasil pengamatan harian tentang tingkat kematian ulat setelah diaplikasi dengan NPV pada perlakuan 1 x 105 PIBs/ml yang dinyatakan efektif disajikan pada Gambar 3 dan 4. Awal kematian ulat terjadi pada 4 hari setelah aplikasi (HSA) dan tingkat kematian ulat 70% terjadi 7-8 HSA. Hasil percobaan ini sesuai dengan pendapat Maddox (1975) dan Starnes et al. (1993) bahwa kematian ulat akibat NPV mulai terjadi pada 3-4 HSA, bergantung pada strain virus, jenis inang, stadia inang, banyaknya polyhedra, dan suhu.
Adanya kenyataan bahwa NPV berdaya bunuh lambat membawa konsekuensi kemungkinan terjadinya kerusakan tanaman. Menurut Tanada dan Kaya (1993), tingkat kerusakan tanaman karena NPV ditentukan oleh kemampuan makan, waktu kematian, dan banyaknya ulat yang mati. Semakin tinggi dosis aplikasi, semakin banyak polyhedra yang tertelan ulat, semakin besar peluang terjadinya infeksi, dan semakin cepat ulat mati. Apabila tingkat kematian ulat tinggi, maka total bagian tanaman yang dimakan ulat berkurang sehingga tingkat kerusakan tanaman menjadi rendah.
Terjadinya kerusakan tanaman akibat serangan ulat yang telah diaplikasi dengan NPV dapat dimengerti karena kematian ulat akibat NPV tidak terjadi seketika sebagaimana halnya aplikasi insektisida kimiawi. Hal ini karena di dalam tubuh ulat berlangsung proses biologis yang membutuhkan waktu beberapa hari, mulai NPV menginfeksi hingga ulat mati. Kendala sifat NPV yang berdaya bunuh lambat tersebut dapat diatasi dalam jangka pendek dengan mengkombinasikan NPV dengan insektisida yang kompatibel (Arifin et al. 1995).
Analisis Probit
Hasil analisis probit menunjukkan bahwa nilai LC50 SlNPV untuk ulat grayak instar III adalah 6,2 x 103 PIBs/ml (Tabel 1; Gambar 5), sedangkan nilai LC50 HaNPV untuk ulat pemakan polong kedelai instar III adalah 6,3 x 103 PIBs/ml (Tabel 1; Gambar 6). Nilai LC50 SlNPV dan HaNPV tersebut tidak berbeda nyata dengan standar. Hal ini mengindikasikan bahwa SlNPV dan HaNPV yang diuji memiliki tingkat virulensi tinggi sehingga layak dikombinasikan.
Hasil analisis juga menunjukkan bahwa nilai LC50 kombinasi SlNPV dan HaNPV untuk ulat grayak instar III adalah 6,0 x 103 PIBs/ml (Tabel 1; Gambar 5), tidak berbeda nyata dengan nilai LC50 SlNPV yang diuji dan LC50 standar. Nilai LC50 kombinasi SlNPV dan HaNPV untuk ulat pemakan polong instar III adalah 6,5 x 103 PIBs/ml (Tabel 1; Gambar 6), tidak berbeda nyata dengan nilai LC50 HaNPV yang diuji dan LC50 standar. Hal tersebut mengindikasikan bahwa isolat SlNPV kompatibel dengan isolat HaNPV, sehingga apabila dikombinasikan, kedua isolat dapat digunakan untuk mengendalikan ulat grayak dan ulat pemakan polong kedelai sebagai serangga hama sasarannya secara sekaligus.
Pemanfaatan Kombinasi SlNPV dengan HaNPV sebagai Biopestisida
Umumnya, musuh alami dapat dimanfaatkan untuk mengendalikan hama yang menjadi inangnya dengan dua pendekatan, yakni konservasi dan augmentasi. Pendekatan konservasi dilakukan dengan cara memanipulasi lingkungan dengan tujuan meningkatkan keefektifan musuh alami yang terjadi secara alamiah, sedangkan pendekatan augmentasi dilakukan dengan cara memperbanyak dan melepas musuh alami secara periodik untuk tujuan jangka panjang dalam program inokulasi atau jangka pendek dalam program inundasi. Khusus NPV untuk mengendalikan ulat grayak dan ulat pemakan polong pada kedelai, pendekatan yang cocok adalah augmentasi untuk tujuan jangka pendek. Hal ini didasarkan atas pertimbangan bahwa NPV mudah inaktif karena sifatnya yang rentan terhadap paparan sinar surya dan kurang persisten karena ekosistem pertanian tanaman pangan selalu berubah dari musim ke musim. Selain dapat digunakan secara tunggal, NPV juga dapat dipadukan dengan taktik pengendalian lain, misalnya perangkap massal serangga dewasa dan varietas tanaman tahan hama.
Mengingat NPV harus tertelan oleh hama serangga agar pengendalian menjadi efektif, ada dua faktor yang harus diperhatikan. Pertama, NPV harus diaplikasikan pada daur hidup serangga hama atau tanaman seawal mungkin untuk meminimalkan kerusakan. Kedua, hasil aplikasi harus konsisten dan seragam melindungi tanaman (Ignoffo 1974). Di samping itu, aplikasi NPV sebaiknya dilakukan pada sore atau petang hari pada kondisi cuaca yang menguntungkan, mengingat sifatnya yang rentan terhadap paparan sinar surya, khususnya sinar ultra-violet, dan perilaku ulat yang aktif pada petang dan malam hari (Tanada and Kaya 1993).
NPV diaplikasikan dengan menggunakan peralatan dan teknologi sebagaimana yang digunakan untuk insektisida. Untuk itu, dosis yang digunakan harus tepat untuk memperoleh hasil pengendalian yang efektif. Ukuran lubang penyemprot harus diusahakan sekecil mungkin, sebaiknya menggunakan penyemprot ultra low volume (ULV).
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil-hasil percobaan tersebut dapat disimpulkan bahwa nilai LC50 kombinasi SlNPV dengan HaNPV untuk ulat grayak adalah 6,0 x 103 PIBs/ml, sedangkan untuk ulat pemakan polong 6,5 x 103 PIBs/ml. SlNPV dapat dikombinasikan dengan HaNPV sehingga layak dikembangkan sebagai biopestisida berspektrum luas untuk mengendalikan ulat grayak dan ulat pemakan polong kedelai sekaligus.
DAFTAR PUSTAKA
Abbott, W.S. 1925. A method of computing the effectiveness of an insecticide. J. Econ. Entomol. 19: 265-267.
Arifin, M. dan WI.S. Waskito. 1986. Kepekaan ulat grayak kedelai (Spodoptera litura) terhadap nuclear polyhedrosis virus. Seminar Hasil Penelitian Tanaman Pangan, Puslitbangtan. Sukamandi, 16-18 Januari 1986. 1 (Palawija): 74-78.
Arifin, M., I.B.G. Suryawan, B.H. Priyanto, dan A. Alwi. 1995. Keefektifan dan kompatibilitas SlNPV dengan insektisida terhadap ulat grayak pada kedelai. Seminar Ilmiah dan Kongres Nasional Biologi XI. Depok, 24-27 Juli 1995. 8 p.
Finney, D.J.1971. Probit analysis. Cambridge University Press, New York. 501 p.
Gothama, A.A.A. 1999. Peningkatan efektivitas Helicoverpa armigera (Lepidoptera: Noctuidae) nuclear-polyhedrosis virus dengan beberapa ajuvan. Seminar Nasional Peranan Entomologi dalam Pengendalian Hama yang Ramah Lingkungan dan Ekonomis. Bogor, 16 Februari 1999. PEI Cabang Bogor dan Program PHT Nasional.
Ignoffo, C.M. 1974. Microbial control of insects: viral pathogens, pp. 541-557. In Maxwell F.G. and F.A. Harris (Eds.). Proc. Summer Institute on Biocontrol of Plant Insect and Dis. Univ. Press of Mississippi, Jackson.
Maddox, J.V. 1975. Use of diseases in pest management, pp. 189-233. In Metcalf R.L. and WH. Luckmann (Eds.). Introduction to Insect Pest Management. John Wiley & Sons, New York.
Mumford, J.D. and G.A. Norton. 1984. Economics of decision making in pest management. Ann. Rev. Entomol. 29: 157-174.
Okada, M. and M. Arifin. 1982. Comparative rearing test of the common armyworm, Leucania separata Walker on artificial diet and host plants, and patogenicity of LsNPV to the common armyworm, pp. 207-215. Research Report of Japan-Indonesia Joint Agricultural Research Project.
Reynolds, H.T., P.L. Adkisson, and R.F. Smith. 1975. Cotton insect pest management, pp. 379-443. In Metcalf R.L. and W.H. Luckmann (Eds.). Introduction to insect pest management. John Wiley & Sons, New York.
Starnes, R.L., C.L. Liu, and P.G. Marrone. 1993. History, use, and future of microbial insecticides. American Entomologist. Summer: 83-91.
Tanada, Y. and H.K. Kaya. 1993. Insect pathology. Academic Press, Inc., Toronto. 666 pp.
0 comments