Hukum Pornografi dan Prostitusi Online di Indonesia
September 11, 2018
sepatu orthopadi
orthoshoping.com
sepatu untuk koreksi kaki pengkor/ bengkok pada balita
Ads orthoshop
sepatu orthopadi
orthoshoping.com
sepatu untuk koreksi kaki pengkor/ bengkok pada balita
Ads orthoshop
sepatu orthopadi
orthoshoping.com
sepatu untuk koreksi kaki pengkor/ bengkok pada balita
Ads orthoshop
Penerapan Hukum Pornografi dan Prostitusi Online di Indonesia Terbaru
Saya adalah seorang sarjana hukum dan bekas narapidana dengan kasus pornografi online. Saya membuat blog yang berisi konten dewasa, yang salah satu isinya yaitu Foto Mesum PNS Bandung membuat saya akhirnya dipidanakan. Saya pun di vonis 2 Tahun Subsider Denda 10 Juta Rupiah oleh Pengadilan Negeri Bandung karena terbukti melanggar Pasal 27 Ayat 1 UU ITE yaitu menyebarkan konten asusila melalui website. Saya pun menghabiskan hampir 500 hari mendekam di Penjara Rutan Bandung.
Baca: Pengalaman 500 Hari Hidup di dalam Penjara. Berdasarkan pengalaman saya tersebut maka saya akan berbagi seputar Hukum Pornografi Online bersumber rujukan dari Hukumonline.com.
Pornografi di dunia maya tumbuh laksana jamur di musim hujan, walaupun tidak sedikit situs/ website berisi pornografi yang sudah diblokir internet positif oleh pemerintah. Prostitusi online juga menjadi topik yang cukup menarik banyak perhatian akhir-akhir ini. Beberapa artis papan atas terindikasi terjerat dalam masalah sosial satu ini. Hal ini menjadi memicu berbagai pihak untuk menyelidiki lebih jauh, dalam hitungan jam saja uang ratusan juta bisa diperoleh dari praktek ini. Tak pelak, banyak sekali pemberitaan yang terus menyajikan permasalahan ini.
Sanksi bagi Pembuat dan Penyebar Konten Pornografi di Website
Cyber pornography sendiri dapat diartikan sebagai penyebaran muatan pornografi melalui internet. Penyebarluasan muatan pornografi melalui internet tidak diatur secara khusus dalam KUHP.
A. Definisi dan Ruang Lingkup Pornografi
Berbicara mengenai pornografi, telah ada beberapa undang-undang yang mengatur substansi yang dimaksud, antara lain:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”);
2. Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”); dan
3. Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi (“UU 44/2008”)
Dalam Bab – XIV KUHP diatur tentang Kejahatan terhadap Kesusilaan, tetapi tidak diatur mengenai definisi kesusilaan. Demikian juga dengan UU ITE. Pasal 27 ayat (1) UU ITE mengatur larangan mendistribusikan, mentransmisikan, dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.
Dari ketiga undang-undang yang dimaksud, UU 44/2008 lebih jelas memberikan definisi mengenai Pornografi, yaitu gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat. Oleh karena itu, definisi tersebut dapat diterapkan dalam diskusi ini.
Secara teoritis-normatif, foto atau rekaman video hubungan seksual disebut Pornografi apabila foto atau rekaman tersebut melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.
Pasal 4 ayat (1) UU 44/2008 mengatur larangan perbuatan memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat:
a. persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang;
b. kekerasan seksual;
c. masturbasi atau onani;
d. ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan;
e. alat kelamin; atau
f. pornografi anak
Pasal 4 ayat (1) UU 44/2008 tentang Pornografi disebutkan bahwa yang dimaksud dengan "membuat" adalah tidak termasuk untuk dirinya sendiri dan kepentingan sendiri.
B. Pembuatan Pornografi
Dalam hal pria dan wanita saling memberikan persetujuan untuk perekaman video seksual mareka dan foto serta video cabul tersebut hanya digunakan untuk kepentingan sendiri sebagaimana dimaksud dalam pengecualian dalam Pasal 44/2008 maka tindakan pembuatan dan penyimpanan yang dimaksud tidak termasuk dalam ruang lingkup “membuat” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 UU Pornografi.
Dalam hal pria atau wanita melakukan pengambilan gambar atau perekaman hubungan seksual mereka tanpa diketahui oleh wanita atau pria pasangannya, atau tanpa persetujuannya, maka pembuatan video tersebut melanggar Pasal 4 ayat (1) UU 44/2008. Persetujuan (consent) merupakan bagian yang sangat vital dalam menentukan adanya pelanggaran atau tidak.
C. Diseminasi atau Distribusi Pornografi
Dalam hal pembuatan foto atau video disetujui oleh para pihak maka penyebaran oleh salah satu pihak dapat membuat pihak lain terjerat ketentuan pidana, sepanjang pihak itu tidak secara tegas memberikan larangan untuk penyebarannya.
Sebagai contoh apabila pria dan wanita sepakat atau saling memberikan persetujuan untuk pembuatan foto atau rekaman Pornografi, kemudian pria menyebarkan Pornografi, tetapi wanita sebelumnya tidak memberikan pernyataan tegas untuk melarang pria untuk menyebarkan atau mengungkap Pornografi tersebut maka wanita dapat terjerat tindak pidana penyebaran Pornografi.
Apabila wanita sebelumnya telah memberikan pernyataan tegas bahwa ia setuju membuat pornografi tetapi tidak mengizinkan pria untuk mengungkap atau menyebarkan Pornografi tersebut maka wanita memiliki posisi yang lebih kuat untuk tidak dipersalahkan sebagai turut serta penyebaran pornografi.
Demikian juga apabila wanita memang sejak awal tidak mengetahui adanya pembuatan foto atau video Pornografi, atau tidak memberikan persetujuan terhadap pembuatan Pornografi tersebut, maka dalam hal ini, wanita tersebut dapat disebut sebagai korban penyebaran konten Pornografi.
D. Penyimpanan Produk Pornografi
Pasal 6 UU 44/2008 mengatur bahwa setiap orang dilarang..., memiliki, atau menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), kecuali yang diberi kewenangan oleh peraturan perundang-undangan.
Menimbulkan pertanyaan apakah video atau foto Porno tersebut yang dibuat oleh pria dan wanita juga dilarang?
Salah satu interpretasi yang mungkin ialah sebagai berikut.
1. Dalam hal pria dan wanita telah saling memberikan persetujuan terlebih dahulu maka penyimpanan atau pemilikan Pornografi tersebut menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam proses membuat dan hal ini masuk dalam kategori pengecualian yang dimaksud dalam Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU 44/2008.
Secara teknis, umumnya, setelah video atau foto dibuat, secara otomatis akan disimpan dalam sistem penyimpanan yang ada di dalam media elektronik. Oleh karena itu, secara hukum, apabila dalam satu kesatuan proses, menjadi tidak logis apabila pembuatan diperbolehkan tetapi penyimpanan atau pemilikan dilarang.
2. Apabila dalam hal salah satu pihak tidak memberikan persetujuan terlebih dahulu, maka penyimpanan atau pemilikannya menjadi dilarang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 UU 44/2008.
E. Memfasilitasi Pornografi
Pasal 7 UU 44/2008 mengatur bahwa setiap orang dilarang mendanai atau memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.
Apakah tindakan pria atau wanita yang memberikan persetujuan kepada wanita atau pria dalam pembuatan pornografi termasuk memfasilitasi Pornografi?
Interpretasi yang mungkin ialah bahwa sepanjang wanita atau pria yang telah memberikan persetujuanitu terlibat di dalam foto atau video pornografi tersebut maka, ia tidak dapat dianggap sebagai memfasilitasi perbuatan Pornografi.
F. Penyebaran Pornografi
Pasal 27 ayat (1) UU ITE mengatur:
“Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.”
Ancaman pidana terhadap pelanggar diatur dalam Pasal 45 ayat (1) UU ITE, yaitu ancaman pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak 1 (satu) milliar rupiah.
Pasal 4 ayat (1) UU Pornografi menyebutkan:
“Setiap orang dilarang..., membuat,...menyebarluaskan... Pornografi...”
Ancaman terhadap pasal ini diatur dalam Pasal 29 UU 44/2008 yaitu pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp 250 juta rupiah dan paling banyak Rp 6 miliar rupiah.
Dengan demikian, dalam kasus atau permasalahan yang rekan tanyakan, rekan dapat menerapkan sebagian atau keseluruhan pasal-pasal terkait aspek pembuatan, distribusi, penyimanan, fasilitas, dan/atau penyebaran konten pornografi sebagaimana kami uraikan di atas.
Penonton Video Porno Dapat Dijerat UU Pornografi?
Dalam UU Pornografi diatur mengenai tindakan-tindakan yang dilarang, yang terdapat dalam Pasal 4 – Pasal 14 UU Pornografi. Sehubungan dengan kegiatan yang dilakukan oleh orang tersebut, sejauh penelusuran kami, tidak ada peraturan yang melarang seseorang untuk menonton atau mengakses situs bermuatan pornografi.
Akan tetapi, jika orang tersebut mengakses situs bermuatan pornografi untuk mengunduh gambar atau video yang mengandung unsur pornografi, maka orang tersebut dapat dipidana berdasarkan Pasal 31 jo. Pasal 5 UU Pornografi. Dalam Pasal 5 UU Pornografi dikatakan bahwa setiap orang dilarang meminjamkan atau mengunduh pornografi (yang terdapat dalam Pasal 4 ayat (1) UU Pornografi). Yang dimaksud dengan "mengunduh" (download) adalah mengambil fail dari jaringan internet atau jaringan komunikasi lainnya.
Lebih lanjut, yang termasuk pornografi dalam Pasal 4 ayat (1) UU Pornografi adalah:
a. persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang;
b. kekerasan seksual;
c. masturbasi atau onani;
d. ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan;
e. alat kelamin; atau
f. pornografi anak.
Kemudian dalam Pasal 31 UU Pornografi diatur mengenai pelanggaran atas Pasal 5 UU Pornografi, yaitu dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
Dalam Pasal 6 UU Pornografi memang diatur bahwa setiap orang dilarang memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), kecuali yang diberi kewenangan oleh peraturan perundang-undangan. Akan tetapi perlu dilihat lagi pada penjelasan Pasal 6 UU Pornografi, bahwa larangan "memiliki atau menyimpan" tidak termasuk untuk dirinya sendiri dan kepentingan sendiri.
Ini berarti walaupun orang tersebut menyimpan hal-hal yang termasuk kategori pornografi sebagaimana terdapat dalam Pasal 4 ayat (1) UU Pornografi, selama ia hanya menyimpan untuk dirinya sendiri atau untuk kepentingannya sendiri, maka orang tersebut tidak dapat dipidana atas pelanggaran Pasal 6 UU Pornografi.
Sebagai informasi, pelanggaran atas Pasal 6 UU Pornografi dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah), sebagaimana terdapat dalam Pasal 32 UU Pornografi.
Hukum Prostitusi Online di Indonesia
Media sosial menjadi tempat alternatif marketing untuk menggaet konsumen lelaki keranjang sampah kendati kerap pula digunakan untuk menggaet konsumen kelas kakap dengan menggunakan gerakan “bawah tanah”. Promosi prostitusi dalam bentuk tulisan maupun gambar dapat dikategorikan sebagai informasi elektronik yang bermuatan melanggar kesusilaan.
Perbuatan promosi prostitusi online ini dapat dijerat melalui Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UUITE), Pasal 27 ayat 1 UUITE menegaskan “setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan
Ketentuan ini tidak menjelaskan secara detail apa yang dimaksud dengan “muatan yang melanggar kesusilaan”. Namun promosi prostitusi online adalah hal yang melanggar kesusilaan dan kepatutan. Sehingga mengacu pada ketentuan ini maka siapapun yang membuat status, menyediakan link atau meng-upload informasi elektronik berupa tulisan, gambar, audio atau video mengenai promosi prostitusi maka dapat dijerat tindak pidana Pasal 45 juncto Pasal 27 ayat 1 UUITE.
Penegak hukum jika serius ingin memusnahkan segala bentuk prostitusi online kiranya dapat menerapkan pasal dalam UU ITE. Dengan kewenangannya para penegak hukum dapat meminta untuk dilakukan pemblokiran terhadap media sosial atau situs prostitusi online.
Metode Menjerat
Skema prostitusi setidaknya melibatkan tiga pihak yaitu Mucikari, Wanita Penyedia Jasa dan Lelaki “penikmat” Jasa. Karenanya untuk memberantas prostitusi, hukum harus memberikan perhatian kepada ketiga pihak ini.
Kondisi kekinian, hanya memungkinkan mucikari, lebih mudah dijerat dan memiliki sanksi pidana yang cukup menjerakan. Sementara untuk wanita penyedia jasa dan lelaki “penikmat” yang sama-sama dewasa masih sulit dijerat dengan menggunakan hukum pidana. Kecuali jika wanita penyedia jasanya kategori anak maka dapat dijerat dijerat si penikmat.
Jaring hukum yang dapat menjerat pihak yang terlibat dalam prostitusi hanya dapat terjerat dalam beberapa peristiwa hukum. Diantaranya: Pertama, Mucikari atau Germo, adalah orang yang menyediakan wanita penyedia jasa dalam prostitusi. Mayoritas penegak hukum menggunakan Pasal 296 KUHPidana untuk menyeret para mucikari ini. Pasal 296 menegaskan “barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain dengan orang lain, dan menjadikannya sebagai pencarian atau kebiasaan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak lima belas ribu rupiah.”
Sesungguhnya ketentuan di atas tidaklah memberikan efek jera karena sanksi pidana yang cukup ringan. Sehingga Penegak hukum dapat menggunakan ketentuan yang lebih khusus untuk memberikan efek jera melalui UU No 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang. Dalam UU a quo Pasal 2 menegaskan “Setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah negara Republik Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).”
Kedua, untuk penyedia jasa dan penikmat yang sudah dewasa tidak dapat begitu saja dijerat oleh hukum. Pasal KUHPidana 284 menegaskan “(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan: 1.a. seorang pria yang telah kawin yang melakukan gendak (overspel), padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya, 1.b. seorang wanita yang telah kawin yang melakukan gendak, padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya; 2.a. seorang pria yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahuinya bahwa yang turut bersalah telah kawin; 2.b. seorang wanita yang telah kawin yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahui olehnya bahwa yang turut bersalah telah kawin dan pasal 27 BW berlaku baginya. (2) Tidak dilakukan penuntutan melainkan atas pengaduan suami/istri yang tercemar, dan bilamana bagi mereka berlaku pasal 27 BW, dalam tenggang waktu tiga bulan diikuti dengan permintaan bercerai atau pisah-meja dan ranjang karena alasan itu juga.”
Berdasarkan ketentuan a quo syarat untuk menjerat keduanya: salah satunya harus terikat atau mengetahui ada ikatan perkawinan; harus ada aduan dari suami wanita penyedia jasa atau istri dari lelaki penikmat jasa; dapat dibuktikan terjadi hubungan suami istri antara penyedia dan penikmat jasa. Inilah dilema prostitusi karena syarat-syarat yang cukup menyulitkan untuk menjerat lelaki hidung belang penikmat jasa seks dan wanita penyedia jasa seks. Perbuatan keduanya baru dapat diproses oleh penegak hukum jika istrinya yang datang mengadukan perbuatannya ke polisi. Tentu pengaduan pasangan sangat sulit mengingat si hidung belang selalu berselingkuh tersamar dan tersembunyi. Pun jika istri mengetahui, biasanya “takut” untuk melaporkan sendiri suaminya.
Ketiga, jika wanita penyedia jasanya masih dibawah umur maka lelaki penikmat jasa terjerat dengan pidana dalam UU Perlindungan Anak, meskipun tidak ada pengaduan dari istrinya. Tindak pidana dalam UU Perlindungan Anak adalah delik biasa, bukan delik aduan seperti Pasal 284 KUHPidana.
Maksim lex reformanda menghendaki “hukum tidak boleh tertatih mengejar ketertinggalan zaman” sementara prostistusi sudah bermetamorfosa melebur sesuai bentuk zamannya. Prostitusi ditolak oleh adat ketimuran kita, namun “dilegalkan” oleh KUHPidana yang bercita rasa budaya barat. Sudah saatnya RUU KUHP dimasa yang akan datang “mengharamkan” praktik prostitusi dengan kaidah dan sanksi yang menjerakan.
* Sumber: Dilema Menjerat Prostitusi Online
Sekian update informasi Mantannapi kali ini seputar serba-serbi seputar Online Porn Law. Semoga bermanfaat dan dapat menjadi referensi anda semua. Buat para blogger yang masih suka bermain web lendir semoga segera bertobat sebelum pengalaman pahit saya juga sahabat alami. hehe
Salam.
0 comments